Di Indonesia, setahu saya sudah ada perpustakaan keliling, pojok perpustakaan, dan perpustakaan daerah yang dibuka untuk umum.Â
Mungkin, memperbanyak perpustakaan kecil di beberapa daerah dan lokasi perlu dilakukan dengan mengundang turut serta masyarakat untuk mau berbagi buku. Jadi, tidak selalu pemerintah yang harus menyediakan buku.Â
Masyarakat yang mau membagikan atau mendonasikan buku juga diperbolehkan untuk berpartisipasi berbagi ilmu dan pengetahuan.Â
Selain itu, menciptakan komunitas membaca buku juga bisa dilakukan untuk mempererat silaturahmi dan komunitas masyarakat pembelajar.Â
Di sekolah, sistem pendidikan kita perlu dirancang untuk mendekatkan siswa dan guru dengan kultur membaca buku.Â
Membaca buku bukanlah melulu tentang beban akademik yang harus dipaksakan, melainkan sebuah kegiatan rutin yang menyenangkan.Â
Kultur ini bisa dilakukan dengan program rutin, seperti membaca buku 15 menit sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai, menciptakan komunitas baca, menulis karya tulis, mengoptimalkan peran perpustakaan, dan lain-lain.
Memang, tak bisa dipungkiri bahwa peran pemerintah untuk membuat kebijakan dan program berkelanjutan masih sangat diperlukan untuk menciptakan sumber daya manusia yang unggul. Hal itu harus disikapi dari akar permasalahannya.Â
Seperti yang saya ceritakan di atas, salah satu faktor penghalang terbesarnya adalah minimnya kesejahteraan yang dirasakan masyarakat.Â
Ibu saya tidak akan memiliki pemikiran seperti itu apabila tidak disebabkan oleh kekhawatirannya akan nasib keluarga yang terbilang belum sejahtera karena keterbatasan finansial. Fokus utamanya masih dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan primer.Â
Sementara itu, seperti ayah saya, kemauan dan keinginan untuk belajar itu ada, tapi seringkali belum terakomodasi dengan baik.Â