Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Pecinta Kompas dan Penulis yang Bahagia

Pecinta Kompas, penulis bebas yang bahagia. IG: @belfinpaians FB: belfin paian siahaan

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Mungkinkah Minum Kopi di Warkop Sambil Membaca Buku?

23 Juni 2022   23:30 Diperbarui: 27 Juni 2022   01:39 702
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baca buku di warkop | Sumber: Tribun Timur/ WA Ode Nurmin

Pertama, stigma buruk mengenai si Kutu Buku (nerd). Media cukup gemar menggambarkan nerd ini dengan stereotipe berkaca mata tebal dan minus, kuper, tidak gaul, dan minder. Hal ini tentu saja bukanlah karakter yang disukai anak muda. Gemar membaca tidak perlu distereotipkan dengan karakter atau stigma tertentu karena semua orang berhak gemar membaca. 

Kedua, stigma tentang buku yang masih dimaknai sebagai beban akademik (reading for pressure). Hal ini membuat siswa merasa tidak nyaman dan cenderung memenuhi kegiatan membaca sebagai penugasan yang membebani. 

Sebaiknya, buku diperuntukkan untuk kesenangan (reading for pleasure). Perkenalkan siswa dengan buku-buku yang menarik dan menginspirasi. Lewat perkenalan ini, izinkan siswa untuk mengeksplorasi buku-buku yang akan mereka baca. 

Ketiga, stigma bahwa buku itu mahal dan sulit didapatkan. Saya rasa, peran sekolah dan pemerintah sangat diperlukan untuk memberi akses membaca buku kepada siswa dan masyarakat. Itu sebabnya, ekosistem literasi membaca perlu dirancang dalam budaya dan sistem pendidikan kita.

Masyarakat Pembelajar dan Literasi Membaca dalam Sistem Pendidikan

Ada pepatah yang mengatakan, "Butuh orang sekampung untuk membesarkan seorang anak". Artinya, untuk membentuk karakter seorang anak, tidak hanya keluarga, tetapi orang-orang di sekitarnya (lingkungan tempat tinggal) turut andil dalam mempengaruhi perkembangan karakter anak. Oleh karena itu, apabila lingkungan abai dan tidak peduli, seorang anak bisa jadi memiliki perilaku yang menyimpang.

Sama halnya dengan kebiasaan membaca. Masyarakat yang gemar membaca akan menghasilkan masyarakat pembelajar. Masyarakat pembelajar akan menghasilkan masyarakat yang sarat dengan ilmu pengetahuan (knowledge society). Itu yang terjadi di beberapa negara di luar negeri seperti Amerika, Finlandia, Canada, Australia, Jepang, dan lain-lain. 

Anak-anak di Amerika misalnya, mereka membaca 25-27 persen buku dalam kurun waktu satu tahun. Sementara di Jepang, anak-anak bisa membaca buku 15-18 persen per tahunnya. Konon bagi mereka, membaca dipandang sebagai kebutuhan sehingga menjadi rutinitas yang lazim dilakukan. 

Maka tidaklah mengherankan apabila kita menyaksikan kebiasaan orang-orang membaca buku di caf, stasiun, taman, kereta api, dan tempat-tempat umum lainnya.

Intinya, mendekatkan masyarakat dengan buku harus mulai dilakukan. Paradigma yang mengatakan bahwa buku hanyalah milik orang-orang serius perlu diubah karena buku juga bagian dari masyarakat yang suka melucu. Bukankah masyarakat Indonesia suka melucu?

Untuk menjadikan masyarakat pembelajar, peran pemerintah dibutuhkan untuk menciptakan ekosistem literasi membaca. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun