Mohon tunggu...
Bayu_AL
Bayu_AL Mohon Tunggu... PenulisdanSeniman

Aku selambar daun terakhir, Mencoba bertahan diranting yang membenci angin. ••••••••••••• Aktif Organisasi Sosial dan Pelukis Senjiwanya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Solidaritas dari Layar Ponsel: Pesan Makanan, Pesan Perlawanan

7 September 2025   13:30 Diperbarui: 7 September 2025   13:30 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dog.MI//Media.Indonesia.

Pesanan makanan mungkin terlihat remeh. Tapi dampaknya nyata.
Pertama, dukungan moral. Pengemudi yang menerima makanan tahu bahwa perjuangan mereka dilihat, bukan hanya oleh rekan sebangsa, tapi juga oleh saudara serantau.

Kedua, eksposur media. Liputan tentang solidaritas digital ini menembus panggung internasional, membuat isu struktural pekerja gig Indonesia sulit lagi diabaikan.

Ketiga, transformasi bentuk aksi sosial. Kita terbiasa mengukur solidaritas dengan jumlah massa di jalan. Kini, solidaritas bisa diukur dengan jumlah pesanan aplikasi---cara baru yang lahir dari era digital.

Solidaritas semacam ini adalah sinyal bahwa teknologi bukan hanya alat perusahaan raksasa, tapi juga ruang perjuangan rakyat biasa.

Akar Masalah yang Tak Kunjung Tersentuh.
Namun mari kita bicara jujur. Solidaritas itu, seindah apa pun, hanyalah lapisan luar. Akar masalah tetap tertanam dalam-dalam: struktur kerja yang timpang.
Para pengemudi bukan karyawan, tapi juga bukan pengusaha. Mereka hidup di zona abu-abu hukum. Perusahaan bebas mengatur algoritma tanpa akuntabilitas. Pemerintah lambat menyesuaikan regulasi. Sementara masyarakat menikmati layanan murah tanpa banyak bertanya: siapa yang membayar harga sesungguhnya?

Hasilnya? Ribuan pengemudi terjebak dalam siklus kerja panjang, pendapatan tak menentu, dan ketiadaan jaring pengaman sosial.

Pertanyaan yang Mendesak

Solidaritas regional telah menggemakan isu ini, tapi jawaban tetap harus lahir dari dalam negeri. Pertanyaannya kini:

Apakah pemerintah berani menetapkan regulasi yang jelas soal status kerja pengemudi ojol?

Apakah perusahaan teknologi berani membuka algoritma dan mengurangi potongan yang mencekik?

Apakah kita, sebagai pengguna, siap membayar lebih mahal agar pengemudi bisa hidup layak?

Tiga pertanyaan itu akan menentukan: apakah protes ini menjadi titik balik, atau sekadar episode yang terlupakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun