Mohon tunggu...
Bars. B. Pesut
Bars. B. Pesut Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa semester akhir

Sedang Belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradigma Multikulralisme dalam Pluralitas Budaya

15 November 2019   22:34 Diperbarui: 15 November 2019   22:33 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Latar Belakang

Pilkada Jakarta telah usai. Sang pemimpin untuk lima tahun ke depan telah ditentukan. Namun pilkada yang berlangsung selama dua putaran ini menyisahkan polemik dalam masyarakat sendiri. 

Tak jarang pula polemik yang bernuansa SARA ini sering dilibatkan dengan para penguasa dan tokoh masyarakat bahkan ormas. Terlepas dari semua hal itu, ada hal yang sangat meresahkan anak bangsa yakni isu agama. Pilkada Jakarta beberapa waktu, sangat kental dengan unjuk rasa yang mengatasnamakan agama mulai aksi 411, 112, 313. 

Semua aksi ini menunjukan betapa soal agama adalah hal yang sensitif. Namun, yang menjadi soal adalah kepentingan politik turut menggunakan kesempatan. Muncul pernyataan bahwa pemimpin negara atau daerah harus dari golongan tertentu atau golongan mayoritas. Agaknya masih kurang pemahaman masyarakat mengapa perlu diadakannya Pilkada. Tentu pilkada itu memiliki undang-undangnya sendiri sehingga semua kebutuhan masyarakat baik yang Kristen maupun Islam, Hindu ataupun Budha, Jawa maupun Dayak, dan lain sebagainya dapat terakomodasi dengan baik.          

Rumusan Masalah

Dalam makalah ini akan dijawab pertanyaan-pertanyaan berikut:

  1. Apakah multikulturalisme itu?
  2. Bagaimana paradigma multikulturalisme itu dapat diwujudkan di Indonesia khususnya dalam memilih pemimpin rakyat?
  3. Mengapa pemimpin mesti melalui Pilkada?
  4. Apa itu pilkada dan apa hukum-hukumnya?

Pengertian Multikulturalisme dan Pluralisme

Sejak semula berdiri sebagai negara bangsa bahkan sebelumnya pun, Indonesia adalah negara yang majemuk dari segala sisi kehidupan. Terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau suku bangsa di Indonesia atau tepatnya 1.340 suku bangsa menurut sensus BPS tahun 2010. Dari kenyataan ini pernyataan di atas menjadi tanda tanya besar. Hal ini menandakan bahwa multikultural belum terwujud dengan baik. Secara harafiah multikulturalisme terdiri dari tiga kata yakni multi, kultur, dan isme. Multi berarti banyak, mejemuk, atau lebih dari satu. Kultur berarti budaya atau kebudyaan, dan --isme berarti sistem kepercayaan berdasarkan politik, sosial, ataupun ekonomi, dipakai sebagai akhiran, dan dapat dilambangkan pada setiap kata atau nama. Dengan demikian multikulturalisme adalah paham yang mengakui adanya keberagaman budaya yang hidup dalam satu teritori tertentu.

 

Multikulturalisme dekat dengan makna pluralisme, namun keduanya memiliki perbedaan yang mendasar. Pluralisme adalah ajaran yang menyatakan bahwa adanya berbagai unsur-unsur yang tidak berhubungan satu dengan yang lain dan paham atas keberagaman. Pluralitas mengandaikan adanya hal-hal yang lebih dari satu dan saling berbeda, heterogen. Ontologi kebudayaan menyatakan bahwa manusia sebagai subjek kebudayaan[4]. Sejalan dengan itu Aristoteles menyatakan bahwa hakikat manusia ditemukan dalam individu[5]. Dari kedua pernyataan ini kita mengetahui bahwa pada dasarnya pluralitas individu berakibat pada plutalitas kebudayaan. Sedangkan multikultural memberikan penegasan bahwa dengan segala perbedaannya (pluralitas) itu mereka tetap sama di ruang publik. Dengan kata lain, adanya komunitas-komunitas yang berbeda saja tidaklah cukup; sebab yang terpenting adalah bahwa komunitas-komunitas itu diperlakukan sama oleh suatu negara

 

Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki banyak pulau di mana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka ragam.

 

Masyarakat multikultural memiliki ciri yang berbeda dengan masyarakat plural, karena pada masyarakat multikultural terjadi interaksi aktif antara masyarakat dan budaya yang plural dalam kehidupan sehari-hari. Ada nuansa kesetaraan dan keadilan dalam unsur-unsur budaya yang berbeda tersebut. Prinsip keanekaragaman, perbedaan, kesederajatan, persamaan, penghargaan pada demokrasi, hak azasi, dan solidaritas merupakan prinsip multikulturalisme yang dijunjung tinggi. Kesadaran multikultural tersebut akhimya dapat pula disaksikan dengan merebaknya berbagai bidang kajian: studi lintas budaya (cross culture studies), studi budaya (cultural stud,es), studi feminisme, teorilkajian pos-kolonial, posmodemisme serta multikul-turalisme.

 

 

Pilkada

 Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI Jakarta 2007[6]. Singkatnya Pilkada diadakan agar kepentingan rakya semua, bukan golongan tertentu, dapat terakomodasi. Artinya adalah pemimpin adalah pilihan rakyat untuk rakyat bukan dari golongan untuk golongan.

 

Melihat situasi aktual pluralitas tidak lagi dilihat secara global. Secara regional pun pliralitas dapat dirasakan dengan sangat. Orang-orang di kota-kota besar Indonesia, Jakarta misalnya, adalah orang-orang dari seluruh penjuru indonesia. Jakarta tidak lagi identik dengan Betawi melainkan indonesia itu sendiri. Maka jika isue sara diangkat jadi dasar kualitas pemimpin menjadi tidak memadai lagi. Maka dari itu ada UUD khusus tentang Pilkada. Berikut ada beberapa bagian dari RUU Pilkada Pasal 13 (b,d,s)[7]. b. setia kepada Pancasila sebagai Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, dan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia; d. telah mengikuti uji publik kompetensi dan integritas; s. mengenal daerahnya dan dikenal oleh masyarakat didaerahnya;

 

Kutipan di atas adalah bagian yang terdekat dengan siapa yang boleh menjadi pemimpin daerah. Tidak ada spesifikasi dari suku apa atau dari golongan mana. Semua berhak. Orang yang sadar akan kemajemukan Indonesia seharusnya menginsafi hal ini.

 

Aktulisasi Multikulturalisme Dalam Pluralitas Budaya[8]

 

Pluralitas bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain mcrupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak. Tetapi, pada pihak lain, realitas plural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasionallndonesia" yang dapat menjadi "integrating foroe" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Prinsip negara Indonesia sebagai negara "Bhineka Tunggal Ika" mencerminkan bahwa meskipun negara Indonesia bersifat plural, tetapi tetap terintegrasi dalam kesatuan. Problem Indonesia adalah bagaimana budaya bangsa Indonesia menerima sikap dan pemikiran yang berbeda di tengah-tengah masyarakat? Walaupun keanekaragarnan atau pluralisme diakui dan diutamakan dalam semboyan negara Indonesia, "Bhineka Tunggal Ika", dalam kenyataannya yang ditekankan adalah "kesatuan" bukan "keanekaragaman". Padahal kalau yang dipertimbangkan adalah "keanekaragaman", maka akan lebih menggambarkan realitas yang sesungguhnya. "Keaneragaman dalam Kesatuan" merupakan mozaik dari perwujudan masyarakat multikultural. Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas. Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai "pendidikan untukltentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural Iingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.

 

Istilab "pendidikan multicultural" (multicultural education) dapat digunakan baik pada tingkat deskriptifmaupun normatif. Sebagai alternatif terhadap penolakan terbadap segala bentuk diskriminasi. Multikulturalisme memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terbadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama. Dalam konteks pendidikan multikultural maka semangat dialog yang memperkaya pengertian antara berbagai macam latar belakang menjadi suatu keharusan. Dalam pendidikan yang menekankan suasana yang dialogis akan ditemukan sikap membuka diri terbadap dialektikal kritis dan praktik diskursif, termasuk kesiapan untuk membongkar bentuk-bentuk kesadaran palsu, sehingga pada akhimya akan ditemukan suatu bentuk konsensus, meminjam istilah Haberrnas.

 

Dalam konteks global, saat semua lini kehidupan -budaya, ekonomi, teknologi, lingkungan hidup, dan sebagainya - saling bertalian erat, pendidikan multikultural harus berupaya membentuk nalar manusia yang mengadopsi non-tribalisme, baik dalam sekala nasional maupun global. Nalar non-tribalisme sendiri bisa diartikan dua hal. Pertama, nalar tidak bersifat reaksioner terbadap gagasan, klaim, keyakinan yang lain (asing). Kedua, nalar tidak bersifat privat melainkan publik. Nalar mesti dipakai untuk mendiskusikan secara publik patokan dan prinsip yang bias disepakati sebanyak mungkin pihak. Sarana paling tepat untuk menanamkan modus penalaran nontribalisme adalah pendidikan multikultural. Menurut Fuad Hassan sudah saatnya semangat kebersamaan "kita" lebih menjelma daripada kebersamaan "kami". Dalam kaitannya pendidikan multikultural dan agama, perangkat kesatuan norrnatif sangat dibutuhkan untuk mencegah konflik-konflik golongan secara horizontal, maupun konflik-konflik kelas secara vertikal yang secara aktual terjadi di dalam struktur masyarakat akibat pluralitas agama.

 

Plularitas agama erat kaitannya dengan pendidikan umat. Karena dengan pendidikan yang cukup dan mau mengerti bahwa pluralitas agama adalah kehendak Allah, ia akan bias menjaga hubungan yang baik antar umat beragama. Oleh karena itu didasari oleh ilmu dan pendidikan, maka di dalam masyarakat yang beragam atau plural, pemeluk agama akan bisa menyesuaikan diri di dalam kultur apa dia hidup dan bagaimana ia berbuat terbadap sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan, namun dengan tetap menjaga identitas dirinya. Memahami fenomena agama dibutuhkan peralatan metodologis yang khusus. Disamping orang perlu mengenal pendekatan psikologis dan filosofis eksistensial, ia juga dituntut untuk mampu menghargai dan sekaligus menggunakan pendekatan dan metodologi yang biasa digunakan dalam bidang-bidang budaya dan sosial. Di sini pula paradigma multikultural menjadi suatu yang aktual dalam konteks keberagamaan di Indonesia. Dengan demikian* kajian multikulturalisme (yang didukung dengan teori-teori postmodemis) berkaitan erat dengan pandangan atau keyakinan yang mengakui adanya banyak kultur (pluralisme budaya, ras, religius, bahasa) yang memungkinkan* suara-suara dan tuntutan yang berbeda satu dengan yang lain hidup secara berdampingan, dimana masing-masing kultur itu saling berinteraksi, berkomunikasi satu dengan yang lain secara intensif, kritis, dan emansipatoris. Semangat multikultural juga senafas dengan cita-cita pembentukan masyarakat madani atau civil society yang menekankan proses edukasi sosial dan tidak lagi semata-mata individual. Isu-isu transparansi, accountability (pertanggungjawaban), public debate, solidaritas, toleransi, demokrasi, kesalehan publik, pluralisme, adalah kata-kata kunci (key words) yang bisa digunakan setelah masyarakat modem mengenal apa yang disebut kontrak sosial (social contract). Dalam konsep social contract, diasumsikan bahwa semua individu dan kelompok mempunyai platfonn, hak dan kewajiban yang sama, meskipun berbeda ras, suku, golongan, budaya, agama dan kepercayaan yang dianut. State of mind, mentalitas dan cara berpikir serta cara bertindak yang tersembunyi di balik kata kunci kontrak sosial adalah asumsi dan keyakinan bahwa kita semua memang berbeda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam hal akidah, iman, kredo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan bersama dan kelompok (social survival), mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama dalam bentuk kontrak sosial antara sesama kelompok dan warga masyarakat, yang sejak semula memang sudah berbeda ditinjau dari sudut pandang apapun. Ada beberapa tesis filsafat multikultural dalam ilmu social-budaya yang perlu dipahami dan dikembangkan dalam budaya multikultural, antara lain:

 

Hindarkan cara berpikir dikotomis; hitam-putih, either/or dan berusahalah berpikir secara dialektis-kritis.

 

Jangan menjadikan orang lain sebagai the other, dan' jadikan perbedaan untuk saling memahami bahwa kita memiliki keunikan masing-masing sebagai realitas.

 

Berdialog dan berinteraksilah dengan orang lain supaya kita bisa meraba hati dan kemauan orang lain sehingga kita dapat berlaku* adil.

 

Berpikirlah sebagai kata kerja (proses, transformasi) bukan sebagai kata benda[9]. Artinya berelasi dengan kelompok lain sebagai rekan dalam perjalanan bangsa. 

 

Janganlah bersifat etnosentris (tribalisme), berusahalah berpikir non-tribalisme sehingga akal sehat (common sense) tetap terjaga.

 Kesimpulan

 

Perbedaan yang selalu terjadi akibat adanya pluralitas budaya, etnis, sistim nilai, dan agama harus disikapi dengan suatu dialog untuk menemukan konsensus bersama, bukan dengan kekerasan dan penghaneuran satu dengan lainnya. Maka, dalam konteks tersebut multikulturalisme cukup relevan untuk diterapkan dalam suatu masyarakat majemuk (plural) seperti Indonesia. Multikuturalisme; yang menonjolkan kesetaraan, solidarisme, keterbukaan serta dialog mampu menjadi titik temu di antara berbagai perbedaan yang ada dalam rangka hidup bersama dengan semangat kebersamaan pula. Dalam rangka tersebut lcmbaga-lcmbaga pendidikan dan budaya, baik pemcrintah maupun Lembaga Swada Masyarakat (LSM) dapat menjadi model untuk menumbuhkan kesadaran multikultural dikatangan masyarakat. Dengan langkah tersebut maka dapat ditumbuhkan dialog budaya multikultural untuk saling memahami antar budaya serta ditumbuhkan kepercayaan terhadap budaya sendiri (identitas diri).

 

Pustaka

 

Buku

 

Peursen, Van. 1992.  Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius,

 

Saeng, Valentinus .2017. DIKTAT KOSMOLOGI. Malang: STFT Widya Sasana.

 

Tim Pinffa. 2007. Mengenal 33 Provninsi Indonesia-Nusa Tenggara Timur, Bandung: PT. Sinergi Pustaka Indoensia.

 

Departemen Pendidikan dan Kebicayaan. Kamus Besar Indonesia. Jakarta:Balai Pustaka.

 

 

Internet

 

Http://Repository.Gunadarma.Ac.Id/247/1/AKTUALISASI%20PARADIGMA%20MULTIKULTURALISME_UG.Pdf 

https://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_kepala_daerah_di_Indonesia

https://news.detik.com/berita/2690602/ini-syarat-syarat-calon-kepala-daerah-di-ruu-pilkada

https://id.wikipedia.org/wiki/Suku_bangsa_di_Indonesia 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun