Mohon tunggu...
Bars. B. Pesut
Bars. B. Pesut Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Mahasiswa semester akhir

Sedang Belajar

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradigma Multikulralisme dalam Pluralitas Budaya

15 November 2019   22:34 Diperbarui: 15 November 2019   22:33 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 

Aktulisasi Multikulturalisme Dalam Pluralitas Budaya[8]

 

Pluralitas bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama, dan lain-lain mcrupakan kenyataan yang tidak bisa ditolak. Tetapi, pada pihak lain, realitas plural tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasionallndonesia" yang dapat menjadi "integrating foroe" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut. Prinsip negara Indonesia sebagai negara "Bhineka Tunggal Ika" mencerminkan bahwa meskipun negara Indonesia bersifat plural, tetapi tetap terintegrasi dalam kesatuan. Problem Indonesia adalah bagaimana budaya bangsa Indonesia menerima sikap dan pemikiran yang berbeda di tengah-tengah masyarakat? Walaupun keanekaragarnan atau pluralisme diakui dan diutamakan dalam semboyan negara Indonesia, "Bhineka Tunggal Ika", dalam kenyataannya yang ditekankan adalah "kesatuan" bukan "keanekaragaman". Padahal kalau yang dipertimbangkan adalah "keanekaragaman", maka akan lebih menggambarkan realitas yang sesungguhnya. "Keaneragaman dalam Kesatuan" merupakan mozaik dari perwujudan masyarakat multikultural. Pembentukan masyarakat multikultural Indonesia tidak bisa secara taken for granted atau trial and error. Sebaliknya harus diupayakan secara sistematis dan berkesinambungan. Langkah yang paling strategis dalam hal ini adalah melalui pendidikan multikultural yang diselenggarakan melalui seluruh lembaga pendidikan, baik formal maupun nonformal, dan bahkan informal dalam masyarakat luas. Secara sederhana pendidikan multikultural dapat didefinisikan sebagai "pendidikan untukltentang keragaman kebudayaan dalam merespon perubahan demografis dan cultural Iingkungan masyarakat tertentu atau bahkan dunia secara keseluruhan.

 

Istilab "pendidikan multicultural" (multicultural education) dapat digunakan baik pada tingkat deskriptifmaupun normatif. Sebagai alternatif terhadap penolakan terbadap segala bentuk diskriminasi. Multikulturalisme memberikan nilai positif terhadap keragaman kultural. Konsekuensi lebih lanjut adalah kesediaan untuk memberikan apresiasi konstruktif terbadap segala bentuk tradisi budaya, termasuk agama. Dalam konteks pendidikan multikultural maka semangat dialog yang memperkaya pengertian antara berbagai macam latar belakang menjadi suatu keharusan. Dalam pendidikan yang menekankan suasana yang dialogis akan ditemukan sikap membuka diri terbadap dialektikal kritis dan praktik diskursif, termasuk kesiapan untuk membongkar bentuk-bentuk kesadaran palsu, sehingga pada akhimya akan ditemukan suatu bentuk konsensus, meminjam istilah Haberrnas.

 

Dalam konteks global, saat semua lini kehidupan -budaya, ekonomi, teknologi, lingkungan hidup, dan sebagainya - saling bertalian erat, pendidikan multikultural harus berupaya membentuk nalar manusia yang mengadopsi non-tribalisme, baik dalam sekala nasional maupun global. Nalar non-tribalisme sendiri bisa diartikan dua hal. Pertama, nalar tidak bersifat reaksioner terbadap gagasan, klaim, keyakinan yang lain (asing). Kedua, nalar tidak bersifat privat melainkan publik. Nalar mesti dipakai untuk mendiskusikan secara publik patokan dan prinsip yang bias disepakati sebanyak mungkin pihak. Sarana paling tepat untuk menanamkan modus penalaran nontribalisme adalah pendidikan multikultural. Menurut Fuad Hassan sudah saatnya semangat kebersamaan "kita" lebih menjelma daripada kebersamaan "kami". Dalam kaitannya pendidikan multikultural dan agama, perangkat kesatuan norrnatif sangat dibutuhkan untuk mencegah konflik-konflik golongan secara horizontal, maupun konflik-konflik kelas secara vertikal yang secara aktual terjadi di dalam struktur masyarakat akibat pluralitas agama.

 

Plularitas agama erat kaitannya dengan pendidikan umat. Karena dengan pendidikan yang cukup dan mau mengerti bahwa pluralitas agama adalah kehendak Allah, ia akan bias menjaga hubungan yang baik antar umat beragama. Oleh karena itu didasari oleh ilmu dan pendidikan, maka di dalam masyarakat yang beragam atau plural, pemeluk agama akan bisa menyesuaikan diri di dalam kultur apa dia hidup dan bagaimana ia berbuat terbadap sesama manusia sebagai ciptaan Tuhan, namun dengan tetap menjaga identitas dirinya. Memahami fenomena agama dibutuhkan peralatan metodologis yang khusus. Disamping orang perlu mengenal pendekatan psikologis dan filosofis eksistensial, ia juga dituntut untuk mampu menghargai dan sekaligus menggunakan pendekatan dan metodologi yang biasa digunakan dalam bidang-bidang budaya dan sosial. Di sini pula paradigma multikultural menjadi suatu yang aktual dalam konteks keberagamaan di Indonesia. Dengan demikian* kajian multikulturalisme (yang didukung dengan teori-teori postmodemis) berkaitan erat dengan pandangan atau keyakinan yang mengakui adanya banyak kultur (pluralisme budaya, ras, religius, bahasa) yang memungkinkan* suara-suara dan tuntutan yang berbeda satu dengan yang lain hidup secara berdampingan, dimana masing-masing kultur itu saling berinteraksi, berkomunikasi satu dengan yang lain secara intensif, kritis, dan emansipatoris. Semangat multikultural juga senafas dengan cita-cita pembentukan masyarakat madani atau civil society yang menekankan proses edukasi sosial dan tidak lagi semata-mata individual. Isu-isu transparansi, accountability (pertanggungjawaban), public debate, solidaritas, toleransi, demokrasi, kesalehan publik, pluralisme, adalah kata-kata kunci (key words) yang bisa digunakan setelah masyarakat modem mengenal apa yang disebut kontrak sosial (social contract). Dalam konsep social contract, diasumsikan bahwa semua individu dan kelompok mempunyai platfonn, hak dan kewajiban yang sama, meskipun berbeda ras, suku, golongan, budaya, agama dan kepercayaan yang dianut. State of mind, mentalitas dan cara berpikir serta cara bertindak yang tersembunyi di balik kata kunci kontrak sosial adalah asumsi dan keyakinan bahwa kita semua memang berbeda dalam banyak hal, lebih-lebih dalam hal akidah, iman, kredo, tetapi demi untuk menjaga keharmonisan, keselamatan, dan kepentingan kehidupan bersama dan kelompok (social survival), mau tidak mau, kita harus rela untuk menjalin kerjasama dalam bentuk kontrak sosial antara sesama kelompok dan warga masyarakat, yang sejak semula memang sudah berbeda ditinjau dari sudut pandang apapun. Ada beberapa tesis filsafat multikultural dalam ilmu social-budaya yang perlu dipahami dan dikembangkan dalam budaya multikultural, antara lain:

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun