Sukia, kutulis surat ini untukmu. Harapanku surat ini akan sampai kepadamu. Dengan begitu, kau tahu bahwa aku masih hidup. Malam ini giliran aku yang bertugas jaga di bukit Halimon ini. Dan melalui surat ini akan kuceritakan kepadamu apa saja yang telah aku alami dan rasakan semenjak kepergianku. Ada banyak hal yang belum pernah kukatakan padamu. Kau tak perlu mencemaskanku, aku sehat dan akan pulang seperti janjiku dulu.
Sukia, sekarang mataku berlinang. Jika kau lihat bekas air di surat ini, ketahuilah itu bekas air mataku yang tak sanggup kutahan lagi. Tujuh tahun aku disiksa oleh rindu kepadamu. Meski komandanku yang keras itu selalu berkata:
"Kita lelaki, kita pejuang, kita tidak boleh menangis."
Tentu saja itu tak sepenuhnya benar. Air mata bukan tanda kita lemah, tapi itu tanda bahwa kita hidup. Sebab itu kita menangis saat lahir. Aku tahu komandanku berkata seperti itu untuk menyemangati kami.
***
Kau sudah tahu alasanku memilih jalan ini dan terpaksa kau kutinggalkan di Lamuri. Bukannya aku tak sayang lagi kepadamu tetapi ada dendam yang harus kutuntaskan kepada tentara-tentara biadab yang telah membunuh kedua orang tuaku.
Mereka menuduh keluarga kami pemberontak. Aku tak berada dirumah saat itu, jika ada tentu saja aku akan bernasib sama. Semua itu karena seorang cuak yang memberitahukan kepada tentara-tentara bahwa kami menampung para pemberontak. Padahal kenyataan sebenarnya di malam itu, para pejuanglah yang merangsek paksa masuk ke rumah kami, meminta makanan dan minuman. Ibu dan ayahku tidak berani mengusir mereka. Mereka kelaparan dan menjarah dapur kami.
Ibu dan ayahku orang yang baik. Mereka hanya orang tua yang sehari-hari bekerja di sawah. Tetapi, oh mengapa tentara-tentara itu tega hati menghabisi mereka. Aku berada di Kutaraja ketika mendengar kabar itu. Langit seolah runtuh, aku pulang dengan hati yang hancur. Aku menangis, meronta di depan mayat mereka. Aku tak percaya telah kehilangan kedua orang tuaku dalam waktu yang bersamaan. Orang-orang menatap iba kepadaku. Oh Tuhan, mengapa kau mengambil mereka dariku???
Kau tahu, Sukia, saat itu rasanya aku tak sanggup hidup tanpa mereka; Aku berharap dikubur bersama mereka dalam satu liang lahat. Aku duduk di atas tanah kuburan yang basah dan merah itu sampai malam, menangis sampai air mataku kering. Ya Tuhan, berat sekali rasanya. Sampai aku kelelahan dan bersimpuh di atas tanah gundukan itu. Kugenggam tanah kuburan itu dengan tangan kananku kuat-kuat. Mataku memerah, hatiku tiba-tiba dipenuhi oleh kebencian kepada tentara-tentara jahanam itu bahkan kepada Tuhan yang selalu kusembah. Dalam getir tubuh, aku bersumpah akan menuntut balas atas semua yang terjadi pada orang tuaku. Mereka telah merampas dua orang yang sangat kucintai.
Dalam rasa kemarahan, kebencian dan kelelahan, sebuah tangan memegang pundakku. Itu tangan ayahmu, Sukia. Ia yang merangkulku, membawaku pulang ke rumahmu. Berhari-hari dirumahmu aku membisu seperti patung. Aku telah kehilangan semangat hidup. Ayahmu terus saja berbicara kepadaku meski aku tak pernah menjawab apapun yang ia tanya. Kau juga terus saja mengajakku berbicara, menghiburku dan mengantar makanan untukku. Namun berbulan-bulan aku tetap membisu di dalam kamar.