Mohon tunggu...
Bangun Sayekti
Bangun Sayekti Mohon Tunggu... Apoteker - Pensiunan Pegawai Negeri Sipil

Lahir di Metro Lampung. Pendidikan terakhir, lulus Sarjana dan Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Sepuluh Hari Terakhir Ramadhan

3 April 2024   07:10 Diperbarui: 3 April 2024   07:10 1060
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Sebagai umat Islam akupun melakukan aktifitas yang sama sebagaimana muslim yang lain. Bedanya, aku lebih sering mengaji kitab suci dalam bahasa yang aku pahami yaitu bahasa Indonesia. Hal itu berdasarkan firman Allah dalam Al Qur'an surat Yusuf ayat 2. Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya.

Dengan mengajinya menggunakan bahasa yang kupahami, membuat aku mudah mencerna apa yang Allah firmankan kepada hamba-Nya. Itupun harus aku lakukan secara berulang -- ulang membacanya dengan segenap pikiran, dan rasa yang merasakan (Jawa=roso pangroso). Mengapa? Ya karena setiap petunjuk dalam Firman Allah atau Al Qur'an itu saling berkaitan, dan saling menjelaskan antar satu ayat dalam surat tertentu, dengan satu ayat dalam surat yang lain. Sehingga pembacaan yang berulang -- ulang menjadi wajib dilakukan untuk menangkap makna batiniah yang ingin disampaikan. Kegiatan mengaji makna  batiniah Al Qur'anpun tidak aku batasi waktu atau dalam bulan tertentu saja.

Setiap ayat yang berhasil kukaji aku tempatkan dalam hati, lalu aku amalkannya  ke dalam tingkah laku, perbuatan, dan tutur kataku dalam keseharian. Dengan cara itulah aku berharap sepanjang hidupku selalu berada dalam pancaran Nur Ilahi. Karena kemanapun pergi aku selalu membawa Al Qur'an bukan kitab Al Qur'an atau dengan kata lain perjalananku di atas dunia ini tak ubahnya perjalanan Al Qur'an itu sendiri.

Bulan Ramadhan 1425H ( 2004 M ) bertepatan pada malam ke 27 aku bermimpi. Dalam mimpi itu tergambar peristiwa terang benderang di malam hari, namun tak tampak adanya bulan. Banyak orang berkerumun, bersorak gembira  menyaksikan peristiwa menakjubkan itu, sambil berteriak "malam laillatul qadar, malam laillatul qadar, malam laillatul qadar". Aku berbaur dalam kerumunan orang itu, berdiri di samping seorang wanita berpakaian sederhana. Wanita itu memakai baju kebaya, dan kain ( Jawa = jarik ) yang sudah lusuh hanya sebatas dibawah lutut, sambil menggendong anaknya yang masih kecil. Sayang mimpi itu hanyalah sebatas itu saja, selanjutnya aku terbangun, dan sahur bersama keluarga.

Mimpi itu sungguh membekas dalam benakku, begitu terpukaunya aku hingga aku ceritakan mimpi itu pada istri sambil bersantap sahur. Meskipun singkat, samar -- samar dapat aku tangkap makna petunjuk dalam mimpi itu. Sosok wanita sederhana tadi aku maknai sebagai orang desa yang umumnya berprofesi sebagai petani. Jadi menurut analisisku, sosok petani hakekatnya adalah gambaran dari orang yang sabar, dan ikhlas dalam melakoni perjalanan hidup di atas dunia ini.

Mereka mengolah tanah agar siap ditanami, menabur benih, merawat, memelihara, memupuk, hingga akhirnya tiba waktu mereka dapat memanen hasilnya. Mereka terbiasa berproses, menunggunya dengan sabar sejak bibit ditanam, hingga dapat menghasilkan dan dipanen. Artinya petani tidak pernah berpikiran instan, karena mereka tahu yang namanya berproses itu butuh waktu, dan itu dilakukannya dengan sabar dan ikhlas.

Mereka juga terlatih sabar, dan ikhlas dalam menghadapi semua keadaan. Saat harga beras membumbung tinggi misalnya, alih -- alih melakukan demo seperti umumnya masyarakat kota yang mengaku terpelajar itu, mereka justru menyiasatinya dengan mengonsumsi jagung atau ubi sebagai pengganti makanan pokok. Sungguh ikhlas dan sabar bukan?

Atas dasar tersebut aku menyimpulkan bahwa mimpi itu sebagai petunjuk " hanya orang yang berlaku sabar, dan ikhlaslah yang akan mendapatkan malam laillatul qadar".

Aku mengibaratkan bahwa puasa Ramadhan, dan rukun Islam lainnya pada hakekatnya adalah merupakan kawah candradimuka bila dianalogikan dalam jagad pewayangan. Yaitu sebagai wahana untuk menempa atau menggembleng atau membangun diri para penganut Islam agar menjadi insan yang berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur.

Berpuasa seharusnya tidak hanya dimaknai dari sisi lahiriah saja (menahan makan dan minum), tetapi lebih dari itu batin kitapun hendaklah wajib dipuasakan dengan cara menahan hawa nafsu diantaranya: menahan amarah, tidak membicarakan aib orang lain, tidak mencuri dengar pembicaraan orang lain, tidak berbohong, tidak korupsi, tidak mencuri, dan tidak melakukan perbuatan tercela lainnya. Kecuali itu kitapun harus sabar, dan ikhlas dalam setiap perbuatan termasuk dalam menerima ujian Allah sepahit apapun itu.

Jadi meskipun bulan Ramadhan telah berlalu dimana puasa lahir sudah tidak dilaksanakan, tetapi batin tetap wajib dipuasakan sepanjang masa sampai akhir hayat. Dengan demikian kapanpun, dan dimanapun kita berada manakala  Allah menghendaki untuk mewafatkan kita, kita wafat dalam kondisi berpuasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun