Mohon tunggu...
Nirwan Suparwan
Nirwan Suparwan Mohon Tunggu... -

lahir di Kepulauan Selayar, sementara menempuh pendidikan D4 akuntansi sejak tahun 2010 hingga 2014 insyaallah.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ayah, Biarkan Aku Bicara

17 November 2015   11:19 Diperbarui: 17 November 2015   13:24 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Aku lihat mama dan adik duduk di ruangan tengah yang biasa digunakan untuk berkumpul sama keluarga setelah makan malam. Mama tidak bisa berkata apa-apa, kecuali sepatah kata “mengapa kamu lakukan itu Wan?”

Belum aku jawab pertanyaan mama, ayah memukulku lagi dan menyuruhku untuk berdiri di depan mereka. Ditangannya siap sebuah tongkat besi yang setiap saat bisa menghujaniku pukulan. Aku seperti dalam suasana sidang yang nyata di tengah keluargaku. Mama hanya terdiam dan sorot matanya seakan menandakan rasa kecewa padaku. Mungkin mama juga berpikiran kalau hari ini aku telat pulang hanya untuk pergi ke bioskop menonton film kesukaanku.

Hanya satu pertanyaan dari ayah “mengapa kau telat pulang bangsat?” Ayah memintaku untuk menjawab pertanyaannya dan sungguh luar bisa perkataan ayah sampai mengataiku bangsat, sungguh.

Aku tidak berani bertatapan mata dengan orangtua yang aku cintai walaupun mungkin mereka kecewa dengan sikapku hari ini. Sebenarnya aku sangat lapar tapi aku harus menyelesaikan sidang keluargaku terlebih dahulu, tenagaku sudah tidak ada lagi tapi tidak mungkin aku mengatakan hal ini pada ayah yang emosinya sudah meluap.

“Maafin aku yah, ma, adik. Aku tahu hari ini benar-benar salah dan membuat keluargaku semua khawatir, dan bahkan sampai membuatnya marah. Sebenarnya aku tidak ingin membuat orangtuaku seperti ini. Tapi,,,” Baru aku mengatakan tapi, ayah segera memotong dan menghujaniku pukulan di bagian betisku. Aku pun melanjutkannya sambil menahan perihnya pukulan ayah. Aku melihat adikku seperti merasakan apa yang aku alami, aku melihat adik menangis.

“Tapi jujur yah,.....ma, aku tidak pergi nonton seperti yang ayah sama mama pikirkan. Hari ini, aku harus jalan kaki pulang, mama lupa memberiku uang tadi pagi jadi aku harus pulang dengan jalan kaki. Aku sudah berusaha untuk menghubungi mama sama ayah tapi handponeku sudah lowbat. Aku pinjam handponenya teman tapi aku lupa kalau aku tidak hafal nomornya ayah sama mama. Aku coba hubungi telepon rumah tapi tidak ada yang angkat. Aku coba pinjam uang sama teman tapi mereka juga kehabisan uang jajan dan hanya cukup untuk sekali naik angkot. Jadi sisanya itu aku harus jalan kaki. Aku bahkan mencoba untuk lari tapi karena belum makan dari siang sampai aku terjatuh dan kakiku sakit hingga aku terpaksa untuk berjalan saja. Walaupun lambat tapi yang jelasnya aku bisa sampai di rumah. Maafin Wan yah,,, ma. Aku memang sering membuat masalah dalam keluarga kita.” Aku pun tertunduk dan tidak bisa berkata lagi.

Ayah sama mama hanya terdiam. Aku tahu ayah bukan orang yang bisa langsung percaya tapi mukaku yang mulai pucat mungkin karena rasa lapar dan lelah seharian tidak bisa aku sembunyikan. Mungkin sepatutnya ayah bisa memberiku kesempatan untuk istirahat sejenak. Mama hanya terdiam dalam isak tangisnya, adik sudah tertidur di kursi tempatnya duduk. Ayah segera bangkit dan menelpon salah satu guru kelasku dan meminta nomor handphone teman-temanku. Satu persatu teman kelasku di tanya tentang diriku yang minta bantuan teman soal pinjaman uang tadi. Barulah ayah percaya setelah mendapat kejelasan semuanya.

Ayah hanya memintaku untuk pergi ke kamar membersihkan badanku yang penuh dengan keringat. Mama segera beranjak dari tempat duduknya tanpa menghiraukanku sama sekali. Tapi sepertinya mama pergi ke kamarnya. Aku pun pasrah berjalan dengan langkah kecil menuju kamar padahal perutku sudah semakin perih jadinya.

 

Apakah ayah sudah memaafkanku???

Aku tidak bisa lagi menahan rasa kantukku, tadinya aku lapar sekali tapi sepertinya rasa lapar itu sudah menghilang dan berubah menjadi kantuk yang tak tertahankan. Malam itu, aku tertidur dengan perut kosong, bajuku yang penuh dengan debu dan keringat masih menempel di badanku. Aku belum sempat menanggalkannya sama sekali. Tiba-tiba, seseorang membangunkanku. Mataku yang tampak lelah dan rasanya sekujur tubuhku tampak perih membuatku susah untuk bangun seketika. Tapi, samar-samar dari jarak yang dekat terlihat raut muka ayah. Ternyata memang benar itu ayah yang datang ke kamar tidurku dan membangunkanku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun