Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Seorang Perempuan dan Paper Bag

3 Juni 2022   11:39 Diperbarui: 3 Juni 2022   11:56 222
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image from pixabay.com

Burung hitam bertengger di atas dahan. Dia sudah berada di sana sebelum pukul 6 pagi. Saya tiba pukul enam lebih seperempat membawa perlengkapan bersih-bersih yang sarat selayaknya hari-hari berjalan. Burung hitam itu berkicau satu dua tanpa beranjak tak sesekali saya menjumpainya, bahkan tak pernah seingatnya. 

Saya duduk di tepi dahan besar pohon di bawahnya dia bertengger, membuka bekal breakfast, satu kepalan nasi, tempe dan rona coklat sambal. Saya memakannya perlahan bahwa itu adalah perbuatan yang sama di setiap fajar di hampir separuh nafasnya hidup. 

Tak lama kelar gegares, saya meletakan tromol kalengnya di rumput, burung hitam menempuh turun dan melekat di tepi lempeng tempat nasi, dia mematuk beberapa butir nasi yang tertinggal. Lalu dia pergi naik, melenyap di batas warna langit.

Ah! Hari ini bumi tidak terlalu kotor, berarti pekerjaan saya menyapu taman jalan ini tidak akan terlalu rumit. Tidak banyak yang melempar sampah, hanya beberapa terloncat keluar dari tong sampah taman yang meluber.

Saya pun start mensweeping rumput  taman yang bersisihan dengan terotoar, membelai sepanjang alurnya yang lalu membuahkan sejumput dan sejumput di sana-sini, yang kemudian saya kelompokkan menjadi gunung-gunung kecil garbish yang bakal diangkut oleh truck sampah untuk di alirkan ketempat pembuangan akhir. Sementara saya pun terus menyapu dan menyapu seperti menghabiskan hidup saya di situ.

Tanpa terasa pagi telah memisahkan diri, dia merelakan matahari lebih terang yang mulai memanaskan tangan dan tubuh saya. Beberapa lembar peluh meleleh di leher dan kening saya, yang segera menandakan bahwa sudah saatnya berhenti selesai kerja pembersihan taman kota ini.

Saya pun memastikan seluruh medan dengan menebar pandangan apakah sesuatu terlewat, tampak rumput bersih dan telah tertidur kembali, gundukan waste di sekeliling telah siap di pindahkan kedalam  truck rubbish. Sampai ketika pandangan saya tertuju kepada satu bungkusan kusam yang lepat dari kerajinan tangan saya, saya sendiri merasa ketidakmungkinan bahwa ada yang terlalu yaitu seonggok sampah.

Bergegas saya menghampiri sesuai prosedur pasukan sapu dan siap menghempaskannya dengan deret lidi saya, namun saya mengurungkannya, karena benda ini tidak serupa wajarnya sampah. Sampah itu merupa sebuah bungkusan  kertas coklat yang sudah berkerut namun masih tampak resik. Dari pengalaman saya 20 tahun sebagai pasukan oranye, sebersih apapun, ini tetaplah sampah yang hanya tercover oleh brown paper bag seperti package makanan cepat saji.

Saya memungutnya dengan lugas, namun saya merasakan tidak cucok, tiba-tiba saya memprotes diri saya sendiri bahwa saya harus memperlakukan kantung kertas sampah kecil ini dengan lebih lembut, lebih elegan, lebih gentle. Dan saya mengerjakan kata hati saya, membawanya dengan kedua tangan saya dengan propper dan mengangkatnya ke dalam pangkuan saya sesempat saya mengambil duduk di kursi taman. 

Saya memandang kantung kecil waste ini dengan tenang seakan juga menenangkan alam di sekitar. Meski sedikit ragu ada hasrat saya untuk segera membuka bungkus kantung yang tertutup rapat itu, lalu perlahan saya merengkuh pinggiran kertas warna soklat itu dan perlahan menguaknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun