Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Langit Biru Candy

10 Agustus 2021   12:19 Diperbarui: 10 Agustus 2021   12:32 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imaged by pixabay.com

Kali ini Candy tak memakai mantel, dia hanya memakai baju apa adanya, tidak seperti biasanya. Emaknya yang memergoki langkah panjangnya berteriak.

Kau pakai jas hujanmu, Candy!

Nggak Mak! Candy buru-buru!

Anak perawan itu berlari kencang, baju minim birunya melambai menabrak angin. Mak menatapnya hingga mengecil, kepala yang penuh uban itu menggeleng seperti poros lepas.

Perawan itu? Gumam lansia perempuan itu.

Kemana Candy, Mak? Dulur tetangga mendekati sang ibunda.

Memetik awan! Jawab nyonya kolot itu, seperti sewot.

Nanti awak kedinginan, Mak? Perempuan tetangga bersenandung tanya. Emak Candy tepekur menggulung cucian, ketika perawannya pergi menjemput awan.

Candy yang berkulit putih menaiki bukit meliuk, tubuh kecilnya memudahkan angin mendorongkan gaya keatasnya seperti fisika tekanan. Candy menjadi pesawat ringan dengan telapak kakinya menyentuh kapur seperti terbang. Semakin tinggi semakin berkurang gravitasi, hingga lengan lentiknya mulai menggapai awan yang paling rendah. 

Kantung yang dibawanya mulai dikembangkan untuk menyergap awan, sekali tangguk, awan itu penuh berdesakan terlihat di lapisan kantung transparan bak di balik kaca.

Engkau harus turunkan hujan! Perintah Candy. 

Dia pun mengikat kantung penuh awan lalu menuruni lembah di tanah yang menjorok serupa atap, tubuh segarnya terlindungi, lalu ia meniupkan udara hangat ke awan yang digenggamnya, sehingga awan itu mencair. Dilepaskannya ikatan yang serta merta air mengalir jatuh membasahi bumi.
Emak di bawah, yang baru saja usai menjerang pakaian, berlari tunggang langgang menyongsong jemuran.

Hujaan..!! jeritnya. Ibu uzur itu pontang panting mencabuti kain dari kawat yang melayang.

Candyyy... jangan kau buat jatuh air disini! Teriaknya ke atas awan. Namun sang gadis terlalu  lambung sehingga hanya angin yang terdengar menderu.

Menjelang sore Candy turun gunung, semua tubuhnya menggigil kedinginan, dari cakrawala Maknya sudah menanti gundah.  Hujan terlalu panjang hari ini, terang saja, Candy menumpahkan bergalon-galon kondensat hujan. 

Maknya berlari menyongsong princess semata wayang sambil mengibarkan selimut tebal. Bentangannya disambut pelukan Candy sampai tubuhnya beralih hangat. Kemudian ibu beranak itu berdekapan saling menyeret langkah masuk ke dalam pawon. Mak terkasih telah memasak rawon, kesukaan Candy.

Makasih ya Mak! Cetus Candy sambil mengunyah suapan besar nasi berlauk rawon setan. Rasa pedasnya membuat tubuhnya berkeringat, segar dan melayang. Pikiran di kepalanya yang cupet menjadi nyala bohlam. Mak tersenyum lalu mengelus perut anak gadisnya.

Kenyang, Nak? Tanyanya. Si gadis lincah mengangguk.

Aku tidur dulu, Mak! Capek!

Lalu besok kau tak perlu ke awan, bukan?

Aku tetap harus naik, Mak! Sahut Candy sambil berjalan separuh tidur. Maknya hanya menatap lebih cemas.  

Memang hujan kali ini tak pernah jatuh pada waktu dan tempatnya, seperti ada protes besar-besaran awan untuk mogok berkondensasi. Kompak dengan petir yang sembunyi, petir ogah membuat arus listrik membuat jurang potensial sehingga awan bisa melepas kalornya untuk mencairkan hujan. Maknya yang kenyang asam garam, merenungi alam yang sudah duapuluh dua bulan tak berhasrat membasahi tanah.

Hari telah menelan malam, matahari pagi melirik dari celah dua gunung, cahayanya mentereng, panasnya tak hingga. Betapa kemarau, dan hutan bisa saja menghilang. Candy sudah sarapan mengisi perut full tank. Hari ini Maknya masih terpejam, mungkin kelelahan mencuci kemarin.

 Candy memandang Mak yang terpulas di bale, dia merasa bersalah mengerjai Mak kemarin, sehingga jemuran tak sempat kering hingga berbau sangit. Tapi cinta memerlukan pengorbanan. Maafkan Candy ya, Mak? Tutur hatinya berpamit diri.

Tak lama dia sudah di puncak lembah, tangannya menggapai-gapai untuk membungkus awan namun semua menghindar. Candy memutar kantung awan kosong tanpa terlihta awan merespon. Awan-awan menghilang, seperti ditarik dari langit. Candy melihat biru langit begitu jelas, selebihnya tidak ada apa-apa, dia tidak bisa memindainya apalagi menangkapnya seperti awan. Langit itu seperti tersegel, tidak ada yang bisa memberitakan. Candy memandang ke bawah lalu memandang ke langit.

Apakah dunia yang terlihat ini hanyalah potret dari yang tidak terlihat? Candy melenguh sambil menyimpan kantung awannya. Dia mau pulang dan tak hendak lagi menangkap awan untuk membuat hujan.  Candy memutar badan dan bergegas pulang sejauh sebelum jatuhnya hari.

Mak! Aku pulang ! dia berteriak tepat di muka pintu rumahnya. Kali ini tak ada suara Maknya yang menyambutnya kecuali sepi.

Maaakk..! Candy berteriak panjang namun sunyi. Ibu tetangga menghampiri perempuan belia itu lalu memeluknya, karena dia sudah berusaha lama memberitahukan Candy bahwa Emak sudah silam pulang ke langit biru.

Candy menangis seperti hujan yang dicurahkan dari kantung awannya, padahal langit tidak berawan. Hanya biru.  Dia teringat Emaknya, katanya surga tidak pernah menyimpan memori seperti awan, begitu rahasia. Seperti langit yang ditemuinya. Biru dan tersegel rapat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun