Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Kami Berdua

21 Juni 2021   19:11 Diperbarui: 21 Juni 2021   19:17 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar oleh 733215 dari Pixabay

Kami duduk di muka air, di segala samping hanya pasir. Kami menunggu bola gas besar jatuh dari langit. Perlahan seperti dulu saat masih ada kebahagiaan senti demi senti sampai bola terendam ombak. Lalu hanya basah dan cinta meski cahaya atmosfer surut kala itu, masih ada terang di jantung hati bersama dia. 

Tapi sekarang kami hanya diam tidak merasakan matahari tenggelam secuilpun, perasaan kami serupa persis sama. Tidak enak, tidak merasa apa-apa selain keletihan.

Aku sendiri tak hendak menyapamu meski kamu sedemikian dekat bahkan seperti ada di dalam satu bayangan denganku. Demikian halnya kamu membisu tak enak rasa untuk mengutarakan. Seperti ada luka yang sama, yang telah lama dan melelahkan. Aku menoleh kepadamu, hanya wajah berona buram yang sinarnya telah pergi mengikuti matahari pulang, mematung seperti batu yang liat.

Kita pulang! Aku mengajak sosoknya yang lunglai. Dia mengangguk.

Sampai kapan? Tiba-tiba dia melirih.

Aku membuang kembali lenganku ke dalam dekapan tanpa bisa menjawab, kerna tak sampai hati untuk mengatakannya bahwa kehidupan surga nanti yang akan memperbarui kehidupan bumi kita.

Aku lelah!

Ya. Kita berdual lelah!

Kenapa dia pergi meninggalkan kita?

Sudahlah, kita harus pulang! Kataku menarik tubuh kecilnya.

Aku lemas!

Baiklah! Aku akan menggendongmu!

Lalu aku mengangkat tubuhnya yang mungil ke dalam dekap dan membawanya pulang.

***

Jam di dinding menunjuk pukul sebelas malam. Kami masih berdua masih berurusan dengan buku dengan nyala lampu di meja. Aku ragu untuk menyuruhnya tidur karena pasti dia bersikeras untuk menemani tulisan puisiku.  Lagian aku merasakan sejak kepergian lelaki itu, pena di meja tak henti basah seperti ada di dalam darah kami. 

Jika aku akan tertidur aku yakin dia juga akan ikut terlelap, karena kami begitu luka sehingga meninggalkan warna dalam tulisan patah hati. Lukisan hati yang terbang.

Mungkin kami mengambil jalan lurus cinta dengan benar, sehingga terlalu lurus untuk suatu keberuntungan, yaitu keberuntungan atau ketidakberuntungan. Dan kami polos sehingga harus menelan ketidakberuntungan.

Malam akan segera naik! Sebaiknya kita tidur! Aku mengajaknya sambil melangkah ke kamar tidur. Dia begitu mengantuk sehingga begitu menurut untuk segera masuk ke dalam mimpi yang dalam.

***

Hari ini kami berdua ke makamnya. Lagi-lagi hanya batu dan bunga yang mengembalikan air mata yang entah sampai kesekian kesempatan. Lama kami sampai menggantang matahari bagai tidak berguna di dunia. Nasib kami menggantung abu-abu dari pria yang di bawah sana, yang tak pernah menjawab. Mungkin membuatnya senang dengan nyekar yang kami lakukan bertahun-tahun ini.

Hanya membuat sandaran dingin batu, bukan lagi pelukan lengan yang hangat yang melipat dan mendekap, sehingga bisa terdengar napasnya yang tertinggal di udara.

Terlalu lama kami menangis! Bisikku kepadanya.  

Lalu kami berpelukan sebagaimana biasanya sampai dia merasuk ke dalam hati. Hati yang lama letih dan teronggok patah. Dia melanjutkan sedu sedannya bersama linangan mataku.

Sudah! Sudah! Hiburku sambil menatap pohon bunga kamboja yang mendinginkan pusara. Sementara angin membawa kenangan lagi. Aku mengusap lembut tubuh mungilnya.

Tak mengapa. Kami pernah dicintai. Kami pernah digunakan cukup baik! Sambungku.

Ya! Barangkali sudah saatnya kita mengabaikan ruang penyimpan barang-barang usang ini. Kita lemparkan saja, sebelum hari-hari menjadi kasar. Dia menjawab yang mana cukup mengagetkanku.

Aku mendekapnya setuju. Memang inilah waktunya, untuk kembali dari kekuatan kenangan yang hampir tidak memedulikan untuk melihat surga biru Tuhan melalui bumi yang terus berputar ini.

Lalu aku membawanya dengan kasih dan kami berjalan menyatu.
Hanya kami berdua. Hatiku dan Aku

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun