Baiklah! Aku akan menggendongmu!
Lalu aku mengangkat tubuhnya yang mungil ke dalam dekap dan membawanya pulang.
***
Jam di dinding menunjuk pukul sebelas malam. Kami masih berdua masih berurusan dengan buku dengan nyala lampu di meja. Aku ragu untuk menyuruhnya tidur karena pasti dia bersikeras untuk menemani tulisan puisiku. Â Lagian aku merasakan sejak kepergian lelaki itu, pena di meja tak henti basah seperti ada di dalam darah kami.Â
Jika aku akan tertidur aku yakin dia juga akan ikut terlelap, karena kami begitu luka sehingga meninggalkan warna dalam tulisan patah hati. Lukisan hati yang terbang.
Mungkin kami mengambil jalan lurus cinta dengan benar, sehingga terlalu lurus untuk suatu keberuntungan, yaitu keberuntungan atau ketidakberuntungan. Dan kami polos sehingga harus menelan ketidakberuntungan.
Malam akan segera naik! Sebaiknya kita tidur! Aku mengajaknya sambil melangkah ke kamar tidur. Dia begitu mengantuk sehingga begitu menurut untuk segera masuk ke dalam mimpi yang dalam.
***
Hari ini kami berdua ke makamnya. Lagi-lagi hanya batu dan bunga yang mengembalikan air mata yang entah sampai kesekian kesempatan. Lama kami sampai menggantang matahari bagai tidak berguna di dunia. Nasib kami menggantung abu-abu dari pria yang di bawah sana, yang tak pernah menjawab. Mungkin membuatnya senang dengan nyekar yang kami lakukan bertahun-tahun ini.
Hanya membuat sandaran dingin batu, bukan lagi pelukan lengan yang hangat yang melipat dan mendekap, sehingga bisa terdengar napasnya yang tertinggal di udara.
Terlalu lama kami menangis! Bisikku kepadanya. Â