Mohon tunggu...
Band
Band Mohon Tunggu... Supir - Let There Be Love

(PPTBG) Pensiunan Penyanyi The Bee Gees

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Wanita dan Burung Kecil

1 Februari 2021   22:47 Diperbarui: 1 Februari 2021   22:53 393
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Image by Jo-B from Pixabay

Mereka hanya menunggu, bukan musim, bukan pagi, tapi pemberi, yang entah kapan semenjak lalu, semakin berjarak melangkah ke rerumput  hijau taman. Yang terkerap duduk di kursi taman mengirim waktu ke putaran matahari ke arah barat. 

Seorang perempuan tua, yang selalu mengirim renung kepada renungannya sendiri, sembari sesekali mengulurkan telapak tangannya yang berisi remah roti kepada burung kecil.  Sementara ini entah sudah beberapa interval yang panjang, sang nyonya tua mengunjungi taman, terakhir sejak kira kira berjarak setengah musim yang lalu. 

Memang semakin jarang dan semakin panjang interval hari yang di lewatkan untuk duduk di taman, enggak seperti dulu silam, rutin dan kerap. Dan burung kecil masih sama dengan yang dulu, datang ke taman menanti remah, kalaupun tangan absen burung mungil akan kembali ke sarangnya menghangatkan bulu-bulunya.  

Saban hari burung mungil hinggap di senderan kursi atau pegangan kursi taman, hanya menunggu  berjam lewat sang nyonya tuanya. Hingga akhirnya di takdir pagi perdana pancaroba ini, sang nyonya tua terlihat memasuki taman hijau. Langkahnya yang lembut nampak tidak sebagai lalu, langkah yang lebih terlambat dan lebih sunyi, terserap oleh si burung kecil yang menantinya. 

Ada rasa khawatir, seperti tertampak dari kepala mungil sang burung yang bergeleng resah. Namun tetaplah rambut  panjang sang 'lady' yang memutih bergerai keperakan  indah terlapis sinar mentari pagi berpantulan. 

Dan burung kecil mulai melonjak, menatap kedatangan perempuan sepuh, yang masih menyimpan guratan kecantikan yang takkan lekang oleh dekade. 

Pipi tirusnya yang menawan selalu saja tertunduk semakin menetapkan misteri, menyembunyikan bibir indahnya yang selalu merapat tanpa senyuman. Perempuan elok yang selalu sendiri, akan menangkap renungan  yang seperti di mengerti oleh si burung mungil.

"Cuiit.." paruh kecil unggas itu hanya berdesah sekali. Seakan merasakan keresahan dalam kegembiraan dari rindu sang pemilik. Menyambut perempuan semampai mengambil simpuh di tempat kursi biasanya, sang burung merapat kangen. Ingin melepas beban yang menumpuk. 

Seperti lemari yang berisi bertumpuk tulisan-tulisan silam, berisi kehidupan . Seperti pula, lumbung padi tempat menyimpan padi hasil pemisahan dari ranting dan gabah kopong. 

Tempat teraman untuk menjenguk kenangan yang semestinya indah.  Yang ketika dibuka atau dikunjungi kembali  di ketuaan, ternyata sebagian besar memuat jalan-jalan sempit, kesusahan, keperihan dan keputusasaan. Yang hanya bercampur dengan sekerat kemegahan cinta yang tidak berujung yang menipu. 

Cinta  termanipulasi menjadi tabungan indah,  terbuka gamblang bersama waktu bertahun. Ternyata hanya  merupakan cinta yang tak terjadi, lalu melewati batas untuk membuka tabir adegan akhir yaitu keperihan hati. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun