Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Jebolan Kelas 1 SD, Ciptakan Agrowisata di Kopeng

6 Juli 2018   15:01 Diperbarui: 7 Juli 2018   19:26 5069
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gardu pandang favorit di Agrowisata Gunungsari (foto: dok pri)

Keberadaan Agrowisata Gunungsari, Dusun Dukuh, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang banyak mengundang kekaguman masyarakat. Perpaduan pertanian dan beragam bangunan berbahan dasar bambu, mampu menyedot wisatawan. Siapa sangka, sosok dibalik destinasi wisata tersebut hanya jebolan kelas 1 SD. Seperti apa orangnya, berikut catatannya.

Sejak bulan Ramadan lalu, Agrowisata Gunungsari yang memang memiliki pemandangan indah, telah membetot perhatian warga Kota Salatiga mau pun Kabupaten Semarang. Bahkan, beberapa media elektronik sempat menayangkannya lengkap dengan beragam bumbu penyedapnya. Kendati begitu, belum ada satu pun yang mengungkap sosok Slamet Buang (54) warga Dusun Plalar, Desa Kopeng selaku pemiliknya.

Slamet Buang lelaki bersahaja yang merintis Agrowisata (foto: dok pri)
Slamet Buang lelaki bersahaja yang merintis Agrowisata (foto: dok pri)
Ketika bertemu Slamet, rasanya tak ada yang bakal menyangka bahwa dirinya merupakan owner dari Agrowisata Gunungsari. 

Mengenakan kaos warna biru yang sudah lusuh, celana olahraga yang dibalut celana hitam, rambutnya acak- acakan. Namun, ia sangat ramah terhadap siapa pun. Bahkan, meski belum mengenal saya, dia memaksa saya memasuki warung makan serta mengajak saya ngobrol. Benar- benar type pria sangat bersahaja.

"Saya hanya sempat duduk di bangku SD kelas 1, itu saja hanya 9 hari karena tak mampu membayar uang sekolah yang di tahun 1970 an sebesar Rp 160," kata Slamet Buang, Jumat (6/7) saat berbincang mengenai riwayat hidupnya.

Menurut Slamet, dirinya terpaksa keluar sekolah karena orang tuanya terlalu melarat sehingga tak mampu membayar uang sekolah yang bagi kebanyakan orang relatif terjangkau. Selepas dari bangku kelas 1 SD, ia sudah dihadapkan pada kerasnya kehidupan. " Jangankan bersenang- senang, untuk makan tiap hari saja saya harus mencari sendiri," tuturnya dalam bahasa Jawa yang medok.

Material bambu jadi andalan gardu pandang (foto: dok pri)
Material bambu jadi andalan gardu pandang (foto: dok pri)
Seperti galibnya anak desa yang tak pernah mengenyam bangku pendidikan, Slamet lebih banyak mengandalkan tenaganya dalam mencari nafkah. Sembari belajar baca tulis secara otodidak, ia menjalani berbagai pekerjaan kasar. "Orang tua saya sangat sekeng (melarat), jadi saya harus tahu diri," jelasnya.


Kehidupan yang keras dijalaninya hingga beranjak remaja, jelang dewasa, Slamet Buang sudah mulai berdagang. Dari sayuran, tembakau hingga jual beli ternak ia lakoni. Kebetulan, bermodalkan kejujuran, banyak relasi yang mempercayainya. Meski belum mengenal dunia perkreditan bank, namun, berkat keuletannya secara perlahan beberapa petak tanah sudah mampu dibelinya.

Awal mulai tertarik investasi tanah, terjadi di tahun 1993 lalu. Di mana, berbekal tabungan yang ada, Slamet membeli sepetak demi sepetak lahan pertanian.

Hal inilah yang mendongkrak trust sehingga dipercaya rekan- rekannya. Bahkan, di tahun 1997, jelang krisis moneter di Indonesia, Slamet pernah dipinjami uang sebesar Rp 5 juta dengan kewajiban mengembalikan jadi Rp 6,5 juta dalam waktu 3 bulan. Hasilnya, ia mampu mengembalikan tepat waktu.

Dua remaja memadu kasih di gardu pandang (foto: dok pri)
Dua remaja memadu kasih di gardu pandang (foto: dok pri)
Hingga Slamet Buang menikah, memiliki dua orang anak, satu bekerja di salah satu perusahaan rokok di Jawa Timur, sedangkan yang satu menjadi pengusaha kuliner di Kota Salatiga, dirinya mulai fokus ke jual beli ternak (blantik). Hasilnya sangat lumayan, selain mampu menambah kepemilikan lahan pertanian, ia juga telah membangun rumah pribadi. " Anak- anak kurang telaten mengikuti jejak saya," katanya seraya menaikkan kakinya ke kursi.

Saat kehidupannya sebagai blantik telah mapan, Slamet mengadu peruntungannya di sektor tembakau. Hasilnya, uang yang diputarnya mencapai milyaran rupiah.

Bahkan, di tahun 2011, ia mampu membeli lahan seluas 1,6 hektar di Dusun Dukuh yang sekarang dijadikan tempat wisata ini. Sayang, aroma wangi tembakau tidak bisa dinikmati berlama- lama, sebab, tahun 2017 bisnisnya diterpa kerugian sebesar Rp 1,2 milyar. Sebuah angka yang nyaris membangkrutkan Slamet.

Kanopi yang nantinya terlindungi tanaman merambat (foto: dok pri)
Kanopi yang nantinya terlindungi tanaman merambat (foto: dok pri)
Investasi Rp 1 Milyar

Raibnya uang sebesar Rp 1,2 milyar, jelas membuat Slamet terpukul. Kendati begitu, jiwa petarungnya yang dipupuk sejak dini tak membuatnya putus asa. Melalui proses pemikiran yang matang, akhirnya diputuskan untuk membangun Agrowisata Gunungsari. Karena lahan sudah tersedia, pemandangannya juga aduhai, ditambah berlokasi di kawasan wisata.

Hanya yang menjadi persoalan, modal untuk membangun destinasi wisata butuh dana cukup besar. Sedangkan isi brankasnya nyaris kosong melompong dikuras kerugian bisnis tembakau. Setelah berfikir matang, akhirnya diputuskan tanah kebun di dusunnya dijual senilai Rp 400 juta dan bulan Oktober 2017 lalu, dimulailah membuka lahan demi kepentingan Agrowisata. Tahab awal, didirikan bangunan berbahan dasar bambu serta kayu glugu (kelapa).

Gardu pandang ke tiga yang juga jadi favorit pengunjung (foto: dok pri)
Gardu pandang ke tiga yang juga jadi favorit pengunjung (foto: dok pri)
Sembari menunggu proses pembuatan bangunan untuk berselfie bagi pengunjung, mulai dibenamkan tanaman jambu, bunga dan beragam pepohonan lainnya. Uniknya, proses pembangunan Agrowisata ini tidak memiliki perencanaan tertulis. " Pokoknya asal jalan saja, selesai satu titik, dilanjutkan ke titik lainnya," kata Slamet seraya tergelak.

Saat dananya mulai menipis, lanjut Slamet, ia nekad mengajukan kredit bank. Hasilnya, pihak bank mengucurkan dana Rp 350 juta yang dimanfaatkan untuk menambah sarana dan prasarana. Secara perlahan tapi pasti, Agrowisata yang dirintisnya sudah enak dipandang. "Total dana yang saya benamkan di sini mencapai hampir Rp 1 milyar, karena dari tambah-tambahan, setelah saya hitung telah terkumpul Rp 250 juta," ungkapnya.

Rumah panggung berfungsi sebagai warung makan (foto; dok pri)
Rumah panggung berfungsi sebagai warung makan (foto; dok pri)
Sampai sekarang, proyek yang digagasnya baru selesai 20 persen, sebab, menurut Slamet masih banyak yang perlu dilengkapi. Nantinya Agrowisata Gunungsari akan dilengkapi home stay, ruang pertemuan, taman bunga hingga camping ground. Semuanya berkonsep natural, yang tentunya mayoritas berbahan bambu. Alasannya, banyak wisatawan yang merindukan destinasi wisata berbau alam.

Menanggapi pertanyaan tentang ilmu manajemen dalam mengelola Agrowisata ini, Slamet malah tertawa. Menurutnya, manajemen yang dipakainya adalah manajemen pokoknya jalan. Baginya, saban bulan mampu membayar karyawan yang berjumlah 20 orang sudah sangat disyukurinya. "Untuk parkir, sepenuhnya saya serahkan pada Karang taruna agar dikelola dengan baik, hasilnya ya untuk kegiatan mereka juga," tukasnya mengakhiri perbincangan.

Warung makan lesehan berkapasitas 100 orang (foto: dok pri)
Warung makan lesehan berkapasitas 100 orang (foto: dok pri)
Meski tanpa konsep perencanaan yang matang, namun dalam pandangan pengunjung, Agrowisata Gunungsari relatif nyaman untuk dikunjungi.

Di mana, selain wisatawan diperbolehkan menikmati buah jambu untuk dimakan di tempat, mereka juga dapat berfoto di beberapa lokasi selfie. Mulai yang hanya mirip gardu pandang, hingga menara pandang berlantai empat.

Lokasinya yang berada di samping hutan pinus, terasa adem bagi siapa pun. Untuk mengantisipasi pengunjung yang didera rasa lapar, Slamet sudah membangunkan warung makan berkapasitas 100 orang yang tentunya juga berarsitektur pedesaan. Di mana, rumah panggung yang ditopang tiang glugu, dinding mau pun perabotnya berbahan baku bambu.

Sepak terjang Slamet Buang, kiranya mampu menginspirasi siapa pun yang merasa memiliki latar belakang pendidikan jauh lebih tinggi. Sebab, tanpa perhitungan yang matang serta nyali yang mumpuni, merintis destinasi wisata yang berada di jalur buntu (Dusun Cuntel) membutuhkan keberanian tersendiri. Bagi yang tertarik menyambangi Agrowisata Gunungsari, lokasinya relatif mudah ditemukan. Setibanya di Kopeng, silahkan ambil jalan menuju basecamp Cuntel, di tengah perjalanan bakal menemukannya. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun