[caption caption="Saung Kelir yang jadi galerinya Sabar Subadri (foto: bamset)"][/caption]Setelah cukup lama menunda rencana bertandang ke Saung Kelir yang menjadi galery lukisan Sabar Subadri, pelukis tuna daksa (tanpa tangan), akhirnya Sabtu (23/1) sore saya menyambangi lokasi pameran yang terletak di Jalan Merak nomor 59 Kota Salatiga. Ada rasa sejuk saat memasuki rumah berlantai II yang dibangun dengan menghabiskan dana Rp 1,2 miliar tersebut.
[caption caption="Sabar Subadri saat melukis (foto: dok Sabar Subadri)"]

Di halaman Saung Kelir terdapat dua buah gazebo yang bisa dimanfaatkan pengunjung untuk sekedar duduk-duduk sembari membaca. Sementara melangkah ke dalam gedung, mata langsung disuguhi beragam lukisan yang menempel di dinding. Lukisan-lukisan indah tersebut, berpigura, baik ukuran kecil mau pun yang paling besar, semuanya menggunakan pigura berkaca. Di pojok, terlihat puluhan piagam penghargaan yang pernah diterima Sabar, juga menempel di tembok. Sedang di tengah ruangan terdapat meja cukup besar dikelilingi kursi yang biasa digunakan berdiskusi.
Kendati sewaktu saya tiba, Sabar tengah berdiskusi dengan beberapa remaja putri yang berasal dari Qoriyah Thoyibah, namun, ia menyempatkan untuk menyapa saya. Sembari berbincang, saya menikmati lukisan-lukisan kaki yang dipajang di seluruh ruangan. Dahsyat ! Lukisan yang dibuat menggunakan kaki tersebut, nyaris tanpa cela. Rentang harga yang dipatok mencapai Rp 4 juta hingga Rp 50 juta. Mayoritas lukisannya dibeli kolektor asal Jakarta mau pun luar negeri.
“Lukisan paling besar yang menggambarkan seorang nelayan tengah menjaring ikan, harganya Rp 50 juta. Sedang di bawahnya yang menggambarkan petani membajak sawah harganya Rp 35 juta,” kata Sabar sembari menunjuk dua lukisan yang memang sangat menarik.
[caption caption="Lukisan Sabar yang seharga Rp 35 juta (foto: bamset)"]

Sekedar menyegarkan ingatan, sosok Sabar Subadri, di mata saya memang figur yang fenomenal. Pria kelahiran tanggal 4 Januari 1979 ini, terlahir tanpa memiliki kedua belah tangan. Kendati begitu, ia bukan type orang yang suka dikasihani. Oleh sang ayah yang bernama Subadri dan ibunya, yakni Wiwit Rahayu, dirinya sengaja disekolahkan di SD Negri biasa. Begitu pun ketika lulus SD, karena ayahnya bekerja sebagai penjaga SMP Negri III Kota Salatiga, otomatis Sabar memperoleh dispensasi untuk tercatat menjadi siswa di SMP tersebut.
Sabar yang sejak masih berusia balita memang gemar menggambar, sejak di SD hingga SMP berulangkali mengikuti perlombaan melukis. Hasilnya, berbagai kejuaraan hampir semuanya ia menangkan. Tahun 1989, tepatnya ketika usianya menginjak 10 tahun, secara tak terduga, Sabar menerima surat dari Association of Mouth and Foot Painting Artits (AMFPA) yang berpusat di Liechtenstein. Dalam surat tersebut, dijelaskan bahwa Sabar dimasukkan menjadi anggota dan berhak mendapat bantuan sebesar Rp 100 ribu setiap tiga bulan. Uang yang hanya Rp 100 ribu itu, ternyata sangat bermanfaat bagi dirinya. Sebab, selain bisa membeli peralatan melukis, ia juga bisa membayar honor guru melukis.
Guru melukis Sabar sebenarnya bukan orang sembarangan, ia adalah Amir Rachmad seniman asal Salatiga alumni ASRI tahun 1950 an. Amir yang merupakan karib Affendi dan Rustamaji ini, ketika bertemu dengan Sabar menegaskan bahwa dirinya siap membentuk Sabar menjadi pelukis yang sebenarnya, meski tanpa memiliki dua tangan. Belakangan apa yang disampaikan gurunya tersebut, benar adanya. Sabar mampu malang melintang di dunia kanvas, kuas serta cat hingga membentuk berbagai lukisan yang penuh pesona.
[caption caption="Lukisan kaki Sabar Subadri yang dipajang di galeri (foto: bamset)"]

Semenjak mendapat bimbingan melukis dari Amir dan mampu membeli peralatan, Sabar semakin piawai melukis. Hingga ia lulus SMP, selanjutnya meneruskan ke SMA Negri III Kota Salatiga, dirinya kerap malang melintang di berbagai lomba mau pun pameran. Mengambil genre lukisan aliran realis serta naturalis, hasil karyanya semakin hari makin memikat. Sekarang berbagai goresan kuas Sabar sudah melanglang buana ke segenap penjuru negara karena dibeli kolektor seni.
Galeri Terbuka
Pencapaian sukses yang melewati batas manusia normal, rupanya tak membuat Sabar jumawa. Secara diam-diam, pundi-pundi rupiah miliknya dibongkar dan dibelikan sebidang tanah di Jalan Merak Nomor 56, Kota Salatiga. Perlahan tapi pasti, dibangunlah sebuah bangunan berlantai dua yang difungsikan menjadi galeri lukisan serta Taman Sastra dengan isi sekitar seribuan buku. Saat ini, ia tengah mempersiapkan warung kopi yang menyatu di galerinya.
“Jumat pekan depan mulai dibuka. Konsepnya, tamu yang datang ke Saung Kelir, bisa ngopi sembari menikmati lukisan atau pun membaca buku- buku koleksi pribadi saya,” ungkap Sabar.
Galeri yang diberi nama Saung Kelir atau rumah warna ini, merupakan wujut rasa syukur atas pencapaian yang diperolehnya. Di mana, selain memajang koleksi lukisannya sendiri, Sabar juga menyediakan ruang untuk memajang lukisan hasil karya seniman lukis asal Salatiga. Nantinya Saung Kelir akan dijadikan usaha menuju edukasi yang bersifat non profit. Siapa pun boleh menyambangi gallery tersebut, dibuka mulai pk 10.00 hingga pk 22.00.
[caption caption="Beberapa penghargaan yang diterima Sabar (foto: bamset)"]

Menempati bangunan berukuran 18 x 15 meter dan berlantai dua, Sabar berharap aktifitas seni, budaya serta sastra di Kota Salatiga bisa terpusat di galeri miliknya. Konon, bangunan yang cukup megah khas seniman tersebut, dibangun menggunakan uang pribadinya. Nilainya, lumayan besar yakni Rp 1,2 miliar! Untuk desain bangunan, sengaja dibuat sendiri olehnya. Begitu pun dengan both kopi yang menggunakan kayu jati Belanda, juga didesainnya.
Sabar Subadri memang fenomenal. Kehidupan masa kecilnya yang sarat dengan keperihatinan, mampu menempa dirinya menjadi pria yang tangguh di semua lini. Hal ini, secara diam-diam tertanam pada benak saya. Muncul pertanyaan sebagai bahan intropeksi diri, apakah kehidupan saya sudah bermanfaat bagi orang lain? Susah menjawabnya, sebab, rasanya sama sekali belum bermanfaat.
Apa yang telah diraih Sabar, sepertinya jauh berada di atas orang-orang normal. Dengan segala keterbatasan yang ia miliki, ia mampu melakukan pencapaian luar biasa. Hampir satu jam saya bertandang ke Saung Kelir, menikmati berbagai lukisan-lukisan cantik yang digoreskan kaki Sabar. Rasanya, Allah memang maha adil, Sabar yang diberikan kekurangan, namun dibuka jalan hidupnya hingga melebihi umat lain yang lebih sempurna. Demikian oleh-oleh saya dari Saung Kelir, milik pria yang sangat luar biasa. (*)
Artikel ini harusnya tayang Sabtu (23/1) sore, sayang gambar pendukung tak bisa diupload hingga baru sore ini mampu ditayangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI