Sebuah kabar datang seperti angin segar di tengah teriknya tekanan ekonomi. Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, baru saja mengumumkan kebijakan yang langsung menyentuh kantong rakyat kecil: pekerja dengan penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan akan dibebaskan dari pemotongan Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 21. Dalam sekejap, media sosial dan grup WhatsApp berubah menjadi ruang diskusi dadakan. "Gaji saya naik otomatis!" celetuk seorang teman di grup kantor.
Tapi, di balik euforia itu, muncul pertanyaan besar: apakah ini sekadar manuver populis menjelang akhir periode, atau benar-benar bukti nyata bahwa Kabinet Merah Putih mulai mendengar "17+8 Tuntutan Rakyat", termasuk tuntutan untuk mencegah PHK massal?
Dari Reshuffle hingga Relaksasi Fiskal
Beberapa minggu setelah reshuffle kabinet, wajah-wajah baru di bidang ekonomi mulai menunjukkan arah kebijakan yang lebih pro-rakyat. Salah satunya adalah keputusan membantu pekerja kelas menengah bawah yang selama ini merasa terbebani oleh potongan pajak, meski hidup mereka masih jauh dari kata sejahtera.
Berdasarkan data Kemenkeu, ada lebih dari 23 juta pekerja yang akan langsung merasakan dampak positif dari kebijakan ini. Artinya, uang yang sebelumnya masuk ke kas negara, kini tetap berada di saku rakyat --- bisa digunakan untuk belanja kebutuhan pokok, membayar cicilan, atau bahkan menambah tabungan darurat.
"Ini langkah yang sangat tepat waktu," komentar Ibu Lina, seorang guru honorer di Depok saat ditemui reporter temui di halte TransJakarta. "Kalau dulu gaji habis di tengah bulan, sekarang mungkin bisa sedikit lebih tenang. Meski cuma Rp50-100 ribu lebih, tapi bagi kami, itu bisa buat beli susu anak."
Antara Harapan dan Realitas: Apakah Cukup?
Namun, tidak semua orang merayakannya. Di forum diskusi Kompasiana bertema #MencegahPHKMassal, banyak suara skeptis bermunculan. "Bebas pajak bagus, tapi kalau perusahaan tetap melakukan efisiensi besar-besaran, ujung-ujungnya tetap PHK juga," tulis seorang penulis bernama Ardi, mantan karyawan pabrik yang terkena gelombang pemutusan tahun lalu.
Memang, kebijakan ini belum menyentuh akar masalah: ketidakpastian kerja. Banyak pekerja kontrak, UMKM, dan sektor informal yang tidak terlindungi oleh kebijakan fiskal semacam ini. Mereka tak punya slip gaji, apalagi potongan pajak. Bagi mereka, "pembebasan PPH 21" hanyalah berita yang jauh dari realitas.
Selain itu, ada kekhawatiran lain: apakah relaksasi pajak ini akan membebani APBN jika tidak diimbangi dengan efisiensi anggaran atau penguatan basis pajak di level korporasi? Pertanyaan ini muncul dari diskusi di topik #ReshuffleKabinetMerahPutih, di mana banyak pembaca meminta transparansi dan akuntabilitas dari para menteri baru.
Ilustrasi Nuansa Harapan & Rakyat -- Dampak Langsung di Level Individu | Canva.comÂ

Momentum untuk Transformasi Sistemik
Lantas, bagaimana kita harus menyikapi kebijakan ini?
Saya melihatnya sebagai sinyal positif, tapi bukan tujuan akhir. Ini bisa menjadi momentum bagi Kabinet Merah Putih untuk membuktikan bahwa reshuffle bukan sekadar pergantian wajah, tapi transformasi arah kebijakan.
Langkah selanjutnya harus lebih dalam:
- Melindungi pekerja non-formal dan kontrak dari PHK massal.
- Memberi insentif kepada UMKM agar bisa menyerap lebih banyak tenaga kerja.
- Memperkuat program pelatihan vokasi agar tenaga kerja siap menghadapi disrupsi teknologi.
Jika hanya berhenti di pembebasan pajak tanpa langkah strategis lain, maka kebijakan ini akan menjadi seperti payung di musim kemarau --- terlihat indah, tapi tidak menyirami akar masalah.
Penutup: Optimistis, Tapi Tak Boleh Lengah
Apakah saya makin optimistis dengan Kabinet Merah Putih? Ya, tapi dengan catatan: optimisme yang kritis.
Kebijakan bebas PPH 21 adalah langkah awal yang patut diapresiasi. Tapi rakyat butuh lebih dari satu kebijakan populer. Butuh sistem yang adil, perlindungan yang nyata, dan harapan yang berkelanjutan.
Karena pada akhirnya, rakyat tidak hanya menilai sebuah kabinet dari satu kebijakan, tapi dari apakah rakyat bisa tidur lebih nyenyak karena tahu besok masih punya pekerjaan, dan gajinya cukup untuk memberi makan keluarga.
Semoga, ini bukan akhir dari cerita. Tapi awal dari perubahan yang sesungguhnya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI