Hujan deras, Jakarta macet, dan payungku rusak.Â
Kalau kamu pernah mengalami kombinasi ini, kamu tahu rasanya seperti dihukum oleh alam semesta. Hari itu, Jumat sore, sekitar pukul setengah enam. Aku baru keluar dari stasiun setelah seharian meeting dadakan, rapat Zoom yang gak kelar-kelar, dan belum sempat makan siang. Badan lelah, pikiran kusut, dan ponsel tinggal 10%.Â
Lalu, pas keluar dari peron... plak. Payungku rusak. Tiangnya patah, kainnya melipat sendiri kayak orang menyerah. Hujan langsung nyemplak ke kepala. Aku berdiri di tepi trotoar, basah kuyup, kayak iklan sampo yang gagal.Â
Aku pengin nangis. Tapi gengsi.Â
Aku pengin ngomel. Tapi malas.Â
Aku cuma berdiri di sana, nunggu taksi lewat atau doa dikabulkan.Â
Dan tiba-tiba, sebuah taksi warna silver berhenti pelan di depanku. Bukan taksi online, tapi taksi kota biasa. Kaca jendelanya turun pelan.Â
"Pulang, Mas? Naik aja, saya antar."Â
Aku bengong. "Tapi... saya belum pesan."Â
"Ya gak usah pesan. Lihat Mas basah semua. Nanti sakit."Â
Tanpa banyak tanya, aku masuk. Bau taksi bersih, AC nyaman, dan supirnya --- seorang bapak paruh baya dengan kumis tipis dan seragam rapi --- langsung nyapa ramah.Â