"Aku memang bahagia bersama Ayahmu. Tapi terlalu singkat waktunya. Ingatlah, ketika aku masih berumur 35 tahun, Beliau sudah sedha. Waktu itu, kamu dan kakakmu Ida masih sekolah di SD. Malah si Ita masih bayi..."
".........................." Irma terdiam mendengarnya. Tapi ingatannya dengan cepat melayang ke masa kecilnya.
Irma Kartikasari masih ingat, betapa susahnya ibunya dulu. Saat masih sangat muda, tiba-tiba harus menjadi single parent bagi ketiga putrinya yang masih kecil-kecil. Perjuangannya untuk mendidik dan membesarkan mereka pasti sangat berat.
Bahkan dengan tulus beliau rela menyalibkan hasratnya. Yaitu hasrat untuk menikah lagi. Demi ketiga anak gadisnya, ibunya rela tetap menjanda sampai masa sepuhnya. Pengalaman seperti itulah yang amat dikhawatirkan ibunya bisa terjadi pada Ita.
"Ibu," Irma mendekati ibunya dan memeluknya. "Ibu jangan galau lagi deh! Aku akan berdoa sungguh-sungguh pada Tuhan, agar Dia memutus hubungan Ita dengan pria itu..."
"Doa memutus hubungan?" tanya ibunya, "Apa enggak aneh dan sadis, to Nduk! Setahuku, doa itu untuk menyatukan, memelihara dan mempererat hubungan. Bukan untuk memutuskan!"
"Jadi Ibu kepingin, Ita jadi bener-bener nikah sama pria itu?"
"Ya tidak dong! Aku bahkan takut!"
"Kalau gitu, cara satu-satunya ya harus diputusin hubungan mereka. Tapi kalau Ibu atau aku yang mutusin, pasti kita bermasalalah dengan mereka. Dan itu pun belum tentu berhasil..."
"Maksudmu, biar Tuhan sendiri yang memutuskan mereka?"
"Persis! Kalau Tuhan sendiri yang bertindak, itu pasti baik dan benar! Tindakan Tuhan tidak pernah salah dan tidak akan pernah gagal."