"Mimpi kali dapat uang saku!"
Yes.Â
Itu adalah saya. Dulu. Dan, kini, mungkin.Â
Saya dari keluarga yang sederhana tapi mimpi besar ingin jadi anak kuliahan yang hebat itu. Saya merantaulah ke Banda. Ujung Sumatera yang terkenal dengan 2 universitas ternama, yaitu Universitas Syiah Kuala, dan Institut Agama Islam Ar-Raniry (sekarang UIN Ar-Raniry).
Saya ikut tes di Unsyiah. Gagal!
Patah arah. Mau menangis tapi IAIN belum pengumunan.Â
Mau pulang ke Meulaboh, gagal di ongkos.Â
Saya bertahan. Makan nasi lauk ikan asin pemberian saudara sepupu; padahal saya yang harus beli ini itu karena masih menumpang di kosan orang. Tapi apa daya, dompet kosong perut nggak boleh keroncongan.Â
Doa panjang. Malam panjang. Mau menelepon ke kampung, orang tua saja tidak memiliki telepon genggam apalagi saya. Dalam sabar panjang itu doa terus terucap. "Luluskan saya ya Tuhan!"Â
Dan, saya lulus di IAIN. Sebentar lagi saya akan menjadi mahasiswa baru.
Yes!
Senang dan bangga. Nggak pernah terlintas apa-apa yang akan ada di depan mata, karena masa depan tetaplah misteri. Saya berkabar ke orang tua melalui surat yang dititipan ke sopir L-300. Seminggu kemudian saya baru mendapatkan balasan, dari sopir L-300 juga. Tak ada surat balasan, hanya biaya kuliah yang dikirim sesuai permintaan.Â
Cukup untuk bayar SPP!
Lalu saya makan apa?
Coba pikir.Â
Pikir sendiri.
Hidup itu mulailah susah. Menurut saya yang masih 18 tahun. Entah keahlian apa yang bisa saya lakukan. Entah hemat bagaimana yang bisa saya terapkan. Saya harus berbuat apa?
Jauh dari orang tua. Di kampung ke sawah pun langka (jarang-jarang).Â
Makan 'enak' menurut keluarga sudahlah tinggal di kampung. Makan enak di kosan penuh kecoak itu cuma telur dadar yang digoreng abang sepupu dan dibagi berdua. Dirinya tak pernah memperlihatkan wajah keberatan, mungkin ikhlasnya di dalam hati. Saya yang enggan mau tidak mau makan juga, daripada ikut menjadi rayap yang gelagapan siang malam.Â
Perkuliahan dimulai. Saya ke kampus dengan pakaian lusuh. Uang jajan juga kumuh. Kawan-kawan ada yang sudah pakai handphone berkamera tinggi. Sesekali kami selfie dengan kamera belakang. Gaya kali waktu itu.Â
Kawan-kawan duduk di kantin pada jam istirahat. Saya bersama beberapa yang lain duduk di bawah pohon rindang depan kantor akademik jurusan kami. Cerita hidup susah bukan milik seorang saja. Susah senang dikecapi bersama-sama dan akhirnya tertawa untuk melepaskan duka karena jauh dari orang tua dan duit pun antara ada dan tiada.Â
Kawan-kawan lain bawa buku Fisika Kuantum yang berat dan mahal itu. Saya cuma bisa celingak-celinguk dan berharap dikasih pinjam 30 menit saja untuk mencatat hal-hal penting dari materi yang sudah diajarkan dosen itu. Untungnya - hidup kita memang selalu penuh keberuntungan di Indonesia ini - kawan itu mau meminjamkan buku dengan lirikan mata tajam, "Awas kalau sobek!" mungkin tapi nggak mungkin juga dirinya berujar demikian. Toh, ke kampus saja sudah naik Honda Jazz!
Musibah Tak Kenal Arah
Tahu semua pasti. Aceh dihantam tsunami 26 Desember 2004. Sebagian orang menganggap cerita ini basi. Saya akan selalu mengingat sepanjang hayat. Tiap waktu adalah memori untuk dikenang.Â
Dan hari ini, saya mau berucap, uang saku saya sudahlah lenyap sudah!
Saya tidak bisa berkabar dengan orang tua di Meulaboh. Berita di mana-mana, terutama Metro TV menyebut, "Aceh Barat luluh lantak,"Â
Saya lemas. Pasrah. Tayangan Aceh Barat dan sekitarnya diiringi lagu Indonesia Menangis dari Sherina Munaf, benar-benar merekam semua daerah yang saya tahu.Â
Lenyap sudah.Â
Harapan. Putus asa. Cita dan keinginan sudahlah tiada lagi.Â
Saya tidak bisa bangkit. Mendekam di pengungsian dengan air mata pasti.Â
Saya tidak bisa pulang. Tidak ada kabar juga dari keluarga. Sebulan kemudian barulah abang sepupu saya berkata, "Kamu aman,"Â
Saya menghela napas. Abang sepupu saya yang pulang ke Meulaboh memberi kabar kalau saya baik-baik saja di Banda.Â
Tapi, uang saku itu?Â
Dendang lagu Pudar dari Rossa dari radio sahut-menyahut di pengungsian. Tetangga barak kami, sering menemani saya dalam kesendirian. Lalu, dirinya merekomendasikan saya bekerja sebagai fasilitator di salah satu lembaga kesehatan remaja. Saya buru-buru menangkap umpan itu.Â
"Mau!"Â
Mata saya membulat. Sekonyong-konyong saya tak akan mendapakan umpan yang lain. Saya kelaparan. Saya merana....
Seminggu kemudian saya langsung bekerja tanpa melewati proses wawancara. Masuk melalui orang dalam itulah manfaatnya. Saya tidak peduli. Asalkan saya bisa memenuhi uang saku yang telah hilang itu.Â
Saya ikut pelatihan. Penguatan materi kesehatan remaja. Diperas habis-habisan. Program dijalankan dengan cepat. Saya dan beberapa teman lain langsung diturunkan ke sekolah-sekolah untuk memfasilitasi anak-anak remaja. Saya juga dipercaya memegang program talkshow radio yang merupakan kerjasama lembaga tersebut dengan salah satu radio swasta di Banda.Â
Uang saku saya 'nggak' lagi pas-pasan. Selain honor bulanan, uang jalan ke sekolah-sekolah juga diberikan sesuai jumlah sekolah yang ditugaskan, dan uang jalan ke radio tiap Rabu juga masuk ke kantong saya.Â
Sedikit demi sedikit.
Jadi bukit. Itu pasti.
Saya menabung.Â
Saya 'berinvestasi' di buku bank.Â
Saya mengirim surat ke orang tua melalui sopir L-300, "Saya sudah bekerja, SPP dan uang makan tidak perlu dikirim lagi ya," kesimpulannya begitu.Â
Isi surat sebenarnya lebih mengharu-biru dari itu pokoknya. Nama juga 20 tahun lebih sudah tertinggal kenangan itu.Â
Saya mungkin hanya segelintir lain dari mereka yang mencari uang saku selama kuliah. Namun uang saku saya ini bukanlah uang saku. Saku saya sering bolong. Kawan-kawan paham kondisi saya, dan mereka sering mengajak ngopi. Kadang saya enggan pergi karena tidak enak selalu orang lain yang bayar. Di awal bulan kadang saya mau ikut dengan syarat bayar sendiri.Â
Pelajaran penting sampai hari ini.Â
"Meski hidup susah semua bisa diubah, asalkan usaha tidak pernah berhenti di satu titik!"Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI