Yes!
Senang dan bangga. Nggak pernah terlintas apa-apa yang akan ada di depan mata, karena masa depan tetaplah misteri. Saya berkabar ke orang tua melalui surat yang dititipan ke sopir L-300. Seminggu kemudian saya baru mendapatkan balasan, dari sopir L-300 juga. Tak ada surat balasan, hanya biaya kuliah yang dikirim sesuai permintaan.Â
Cukup untuk bayar SPP!
Lalu saya makan apa?
Coba pikir.Â
Pikir sendiri.
Hidup itu mulailah susah. Menurut saya yang masih 18 tahun. Entah keahlian apa yang bisa saya lakukan. Entah hemat bagaimana yang bisa saya terapkan. Saya harus berbuat apa?
Jauh dari orang tua. Di kampung ke sawah pun langka (jarang-jarang).Â
Makan 'enak' menurut keluarga sudahlah tinggal di kampung. Makan enak di kosan penuh kecoak itu cuma telur dadar yang digoreng abang sepupu dan dibagi berdua. Dirinya tak pernah memperlihatkan wajah keberatan, mungkin ikhlasnya di dalam hati. Saya yang enggan mau tidak mau makan juga, daripada ikut menjadi rayap yang gelagapan siang malam.Â
Perkuliahan dimulai. Saya ke kampus dengan pakaian lusuh. Uang jajan juga kumuh. Kawan-kawan ada yang sudah pakai handphone berkamera tinggi. Sesekali kami selfie dengan kamera belakang. Gaya kali waktu itu.Â
Kawan-kawan duduk di kantin pada jam istirahat. Saya bersama beberapa yang lain duduk di bawah pohon rindang depan kantor akademik jurusan kami. Cerita hidup susah bukan milik seorang saja. Susah senang dikecapi bersama-sama dan akhirnya tertawa untuk melepaskan duka karena jauh dari orang tua dan duit pun antara ada dan tiada.Â