Mohon tunggu...
APRIANUS GREGORIAN BAHTERA
APRIANUS GREGORIAN BAHTERA Mohon Tunggu... pelajar SMA

Saya suka membaca, menulis, Konten motivasi saya suka menonton video motivasi dan berminat di dunia teater

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Untuk Negri Yang Lupa diri

12 Oktober 2025   17:37 Diperbarui: 12 Oktober 2025   19:57 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menulis surat ini, sebuah gubuk tua, beratapkan seng karatan dan berdinding papan yang mengelupas, di lereng timur Ranaka. Di tempat ini, angin tak hanya membawa bau rumput dan tanah, tapi juga desah panjang dari mereka yang diam-diam masih berharap pada negeri yang perlahan melupakan wajahnya sendiri.

Namaku Tino. Biasa saja. Sama seperti hidupku yang terlalu sering diabaikan negara. Tapi, justru dari hidup yang biasa inilah aku menyaksikan hal-hal yang tak biasa. Janji yang dibeli dengan nasi bungkus, mimpi yang dicuri dengan hutang pendidikan, dan suara-suara rakyat yang tenggelam dalam gelak tawa di ruang parlemen ber-AC.

Aku membuka lembar pertama buku tua yang dulu milik bapakku. Di dalamnya, sudah mulai pudar tulisan-tulisan tangannya tentang Indonesia, tentang harapan dan kemarahan yang ditulis dengan tinta biru murah. Hari ini, aku ingin menyambung kisah itu. Bukan dengan tinta, tapi dengan luka.

"Negeri ini terlalu sering bicara soal cinta tanah air," tulisku, " tapi lupa mencintai rakyatnya sendiri."

Di luar, gemuruh truk pengangkut kayu bergema, meninggalkan debu dan kesunyian. Hutan yang dulu lebat, sekarang tinggal barisan akar yang terangkat dan pohon-pohon tua yang roboh seperti harapan petani yang kehilangan tanah warisan karena tambang yang dibela oleh izin negara.

"Pak Tino!Pak Tino!" suara itu datang dari Tania, gadis sepuluh tahun yang tiap pagi mampir ke gubukku untuk belajar membaca. Ia datang berlari, membawa buku lusuh dan secarik roti singkong.

"Sudah baca koran tadi pagi?"

tanyanya polos.

Aku tertawa kecil. "Gubuk ini tidak langganan koran, Dara."

Ia menyodorkan potongan berita yang sudah diremas-remas. Judulnya: "Pemerintah Targetkan Nol Kemiskinan Tahun Depan".

"Artinya kita bakal kaya, ya, Pak?" tanyanya sambil menggigit roti.

Aku hanya tersenyum. Tidak ingin merampas harapannya, meski aku tahu: nol kemiskinan di negeri ini sering berarti nol pengakuan atas kemiskinan yang sesungguhnya.

Cerita ini bukan tentang revolusi berdarah. Bukan juga kisah heroik yang akan dicetak di buku sejarah. Ini cuma cerita kecil, seperti lembaran surat yang ditulis untuk kekasih yang sudah tak ingat lagi nama pengirimnya.

" Tania", kataku, " kalau kamu besar nanti, kamu mau jadi apa?"

"Jadi menteri, biar bisa bantu orang miskin," jawabnya cepat.

Aku tersenyum getir. "Mentari itu berat. Harus kuat menolak uang banyak supaya bisa bantu orang kecil. Ia menatapku heran." Kalau bantu orang, kenapa harus menolak uang?"

Ah, Tania. Negeri ini belum sempat menjelaskan padamu bahwa uang sering datang bulan untuk membantu, tapi untuk membungkam

Sore turun perlahan. Di kaki langit, awan menggumpal seperti debu-debu janji pembangunan yang hanya mengendap di televisi. Di bawah sana, jalan-jalan desa masih becek. Jembatan masih dadi kayu. Sekolah masih beratap bocor. Aku menatap kosong ke arah bukit, tempat dulu bapakku dikuburkan setelah seumur hidup menunggu sertifikat tanah yang tak kunjung datang. Satu-satunya warisan darinya adalah kesetiaan pada negeri yang bahkan tak sempat mengucap terima kasih padanya.

" Apa artinya menjadi rakyat jika hanya dilihat saat pemilu tiba?" tulisku lagi di buku itu.

Narasi kehidupanku barangkali sederhana. Tapi bukan berarti kisah ini kecil ada nyawa besar yang bergeletar: mereka yang tetap bertani meski harga panen jatuh, mereka yang tetap mengajar meski gaji telat, mereka yang tetap merawat negeri ini saat pejabatnya sibuk merawat citra. Aku percaya, kisah cinta bukan hanya tentang pelukan dan puisi. Ia juga tentang bertahan dalam sakit, berharap dalam sepi, dan tetap memilih menanam benih kebaikan meski tak tahu kapan akan panen.

"Pak Tino, "Dara kembali bersuara, " Kalau surat ini dibaca presiden, dia bakal datang ke desa kita?"

Aku terdiam. Lalu berkata pelan, " Mungkin tidak, Nak. Tapi kalau surat ini dibaca Tuhan, semoga Tuhan mengetuk hatinya."

Kami pun diam. Angin melintas pelan, menyentuh rambut Tania yang mulai mengering di ujung -ujungnya karena air sungai yang tak lagi jernih. Langit pun perlahan murung. Tapi aku tahu, masih ada yang bisa diselamatkan dari negeri ini. Masih ada Tania. Masih ada anak-anak yang percaya pada janji, meski negeri ini sudah terlalu sering lupa menepatinya. Dan aku akan menulis terus. Surat demi surat. Cinta demi cinta. Untuk negeri yang lupa diri-agar suatu hari, ia kembali ingat siapa yang membuatnya bertahan hidup: bukan pidato, bukan proyek mercusuar, tapi rakyat yang tetap percaya meski dilupakan.

Malam menyusup seperti pencuri. Ia datang perlahan, mengambil cahaya dari sela-sela pepohonan yang kian jarang. Di langit, bintang masih malu-malu. Entah karena malu melihat bumi yang kian rusuh, atau takut jatuh ke tanah yang sudah kehilangan kejujuran. Di dalam gubukku, lampu teplok menyala redup. Asapnya mengambang, membentuk bayang-bayang di dinding, seperti hantu masa lalu yang belum sempat dikubur.

Aku kembali membuka buku bapak. Menyentuh halaman yang kertasnya sudah rapuh. Di situ tertulis:

"Jangan lelah mencintai tanah ini, meski ia belum tentu mencintaimu kembali. Cinta yang tulus tidak menuntut balas; ia bertahan, menanam, dan terus percaya."

-Surat untuk Tania, 1999.

Aku tak tahu bagaimana dulu bapakku bisa menulis kata-kata sekuat itu. Padahal aku masih ingat, bagaimana ia pernah menangis diam-diam saat lumbung padi habis terbakar karena kabel listrik milik proyek pembangunan jalan dipasang asal-asalan.

Tania sudah pulang ke rumah. Ibunya memanggil lebih cepat karena desas-desus akan ada razia warga malam diminta tak berkumpul terlalu lama, karena ada pihak tertentu yang tidak suka melihat petani bicara soal keadilan.

Aku menulis lagi.

" Kepada Negeri yang Lupa Dir"

Aku tak sedang mencela. Aku hanya bertanya, mengapa jalan ke sekolah anak-anak kami masih berupa tanah merah yang akan berubah jadi ku bangan saat hujan datang?. Aku tak menuntut keajaiban. Hanya ingin tahu mengapa bendungan yang dibangun di hulu justru membuat sawah kami kering di hilir?

Dan apakah engkau tahu, bahwa setiap kali kami bicara tentang hak,kami justru dituduh makar?"

Aku menulis bukan untuk memprovokasi. Aku menulis karena ada terlalu banyak yang memilih bungkam karena takut kehilangan sedikit yang dimiliki. Tapi aku sudah terlalu sering kehilangan: tanah, teman, bahkan kepercayaan.

Malam makin dalam. Dingin mulai menggigit. Tapi tanganku masih hangat oleh kemarahan yang sabar. Pukul 08.00 malam, ada ketukkan di pintu kayu. Suaranya pelan, seperti seseorang yang ragu mengetuk nasib. Aku buka. Di luar berdiri seorang lelaki paruh baya, berjaket lusuh dan wajah penuh keriput. Namanya Pak Danar. Ia ketua kelompok tani,  sekaligus orang yang dulu bersama bapakku memprotes perluasan tambang yang merobek hutan kami.

"Tino aku dengar kamu menulis surat lagi?" tanyanya, suara serak.

Aku mengangguk. Ia duduk. Mengeluarkan sebungkus tembakau, dan mulai melinting rokok dengan kertas koran yang memuat foto menteri baru. " kadang, " katanya setelah menarik napas dalam, " yang kita lawan bukan lagi orang, tapi sistem yang tak punya hati."

Aku mengangguk.

"Aku ingin kumpulkan surat-surat ini, Pak," kataku. "Biar suatu hari, anak-anak di kampung ini tahu bahwa kita tidak diam saja waktu negeri ini melupakan mereka."

Pak Danar menatapku lama. " Kamu berani, Tino. Tapi hati-hati. Sekarang, kebenaran bisa dianggap hasutan."

Aku hanya tertawa tipis.  " Kalau kebenaran dianggap ancaman, mungkin negeri ini sedang sakit lebih dalam dari yang kita kira."

Kami bicara lama malam itu. Tentang tanah yang dijual oleh kepala desa ke investor asing. Tentang danau yang perlahan mengering karena pabrik semen di hulu. Tentang anak-anak yang sekarang harus belajar sambil kerja, karena sekolah gratis nyatanya tak menanggung sepatu, buku, atau perut yang lapar.

Pak Danar kemudian bangkit. Sebelum pergi, ia menepuk bahuku.

" Teruskan menulis, Tino. Biar negeri ini punya cermin. Walau retak, cermin tetap bisa memperlihatkan wajah aslinya."

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun