Mohon tunggu...
APRIANUS GREGORIAN BAHTERA
APRIANUS GREGORIAN BAHTERA Mohon Tunggu... pelajar SMA

Saya suka membaca, menulis, Konten motivasi saya suka menonton video motivasi dan berminat di dunia teater

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Surat Untuk Negri Yang Lupa diri

12 Oktober 2025   17:37 Diperbarui: 12 Oktober 2025   19:57 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami pun diam. Angin melintas pelan, menyentuh rambut Tania yang mulai mengering di ujung -ujungnya karena air sungai yang tak lagi jernih. Langit pun perlahan murung. Tapi aku tahu, masih ada yang bisa diselamatkan dari negeri ini. Masih ada Tania. Masih ada anak-anak yang percaya pada janji, meski negeri ini sudah terlalu sering lupa menepatinya. Dan aku akan menulis terus. Surat demi surat. Cinta demi cinta. Untuk negeri yang lupa diri-agar suatu hari, ia kembali ingat siapa yang membuatnya bertahan hidup: bukan pidato, bukan proyek mercusuar, tapi rakyat yang tetap percaya meski dilupakan.

Malam menyusup seperti pencuri. Ia datang perlahan, mengambil cahaya dari sela-sela pepohonan yang kian jarang. Di langit, bintang masih malu-malu. Entah karena malu melihat bumi yang kian rusuh, atau takut jatuh ke tanah yang sudah kehilangan kejujuran. Di dalam gubukku, lampu teplok menyala redup. Asapnya mengambang, membentuk bayang-bayang di dinding, seperti hantu masa lalu yang belum sempat dikubur.

Aku kembali membuka buku bapak. Menyentuh halaman yang kertasnya sudah rapuh. Di situ tertulis:

"Jangan lelah mencintai tanah ini, meski ia belum tentu mencintaimu kembali. Cinta yang tulus tidak menuntut balas; ia bertahan, menanam, dan terus percaya."

-Surat untuk Tania, 1999.

Aku tak tahu bagaimana dulu bapakku bisa menulis kata-kata sekuat itu. Padahal aku masih ingat, bagaimana ia pernah menangis diam-diam saat lumbung padi habis terbakar karena kabel listrik milik proyek pembangunan jalan dipasang asal-asalan.

Tania sudah pulang ke rumah. Ibunya memanggil lebih cepat karena desas-desus akan ada razia warga malam diminta tak berkumpul terlalu lama, karena ada pihak tertentu yang tidak suka melihat petani bicara soal keadilan.

Aku menulis lagi.

" Kepada Negeri yang Lupa Dir"

Aku tak sedang mencela. Aku hanya bertanya, mengapa jalan ke sekolah anak-anak kami masih berupa tanah merah yang akan berubah jadi ku bangan saat hujan datang?. Aku tak menuntut keajaiban. Hanya ingin tahu mengapa bendungan yang dibangun di hulu justru membuat sawah kami kering di hilir?

Dan apakah engkau tahu, bahwa setiap kali kami bicara tentang hak,kami justru dituduh makar?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun