Aku hanya tersenyum. Tidak ingin merampas harapannya, meski aku tahu: nol kemiskinan di negeri ini sering berarti nol pengakuan atas kemiskinan yang sesungguhnya.
Cerita ini bukan tentang revolusi berdarah. Bukan juga kisah heroik yang akan dicetak di buku sejarah. Ini cuma cerita kecil, seperti lembaran surat yang ditulis untuk kekasih yang sudah tak ingat lagi nama pengirimnya.
" Tania", kataku, " kalau kamu besar nanti, kamu mau jadi apa?"
"Jadi menteri, biar bisa bantu orang miskin," jawabnya cepat.
Aku tersenyum getir. "Mentari itu berat. Harus kuat menolak uang banyak supaya bisa bantu orang kecil. Ia menatapku heran." Kalau bantu orang, kenapa harus menolak uang?"
Ah, Tania. Negeri ini belum sempat menjelaskan padamu bahwa uang sering datang bulan untuk membantu, tapi untuk membungkam
Sore turun perlahan. Di kaki langit, awan menggumpal seperti debu-debu janji pembangunan yang hanya mengendap di televisi. Di bawah sana, jalan-jalan desa masih becek. Jembatan masih dadi kayu. Sekolah masih beratap bocor. Aku menatap kosong ke arah bukit, tempat dulu bapakku dikuburkan setelah seumur hidup menunggu sertifikat tanah yang tak kunjung datang. Satu-satunya warisan darinya adalah kesetiaan pada negeri yang bahkan tak sempat mengucap terima kasih padanya.
" Apa artinya menjadi rakyat jika hanya dilihat saat pemilu tiba?" tulisku lagi di buku itu.
Narasi kehidupanku barangkali sederhana. Tapi bukan berarti kisah ini kecil ada nyawa besar yang bergeletar: mereka yang tetap bertani meski harga panen jatuh, mereka yang tetap mengajar meski gaji telat, mereka yang tetap merawat negeri ini saat pejabatnya sibuk merawat citra. Aku percaya, kisah cinta bukan hanya tentang pelukan dan puisi. Ia juga tentang bertahan dalam sakit, berharap dalam sepi, dan tetap memilih menanam benih kebaikan meski tak tahu kapan akan panen.
"Pak Tino, "Dara kembali bersuara, " Kalau surat ini dibaca presiden, dia bakal datang ke desa kita?"
Aku terdiam. Lalu berkata pelan, " Mungkin tidak, Nak. Tapi kalau surat ini dibaca Tuhan, semoga Tuhan mengetuk hatinya."