Hembusan nafas Jenni terdengar berat. "Aku akan mencobanya, Vi"
Jenni hanya satu dari sekian orang yang kudengar menjual diri hanya untuk membeli kebutuhan tersier. Ada yang telah menyesal, namun ada juga yang kemudian melakukannya berkali-kali dan akhirnya tinggal di dunia itu.
Aku tidak tahu kenapa kemudian mereka memutuskan untuk tinggal dalam dunia itu. untuk mereka yang akhirnya menyesal, aku telah mengantongi satu alasan.
Jenni yang memberikannya.
"Benda itu tak bisa kumiliki seutuhnya, Vi. Kapan saja dan dimana saja, yang kumiliki bisa hilang sekejap mata. Atau mungkin memang benar, tak ada yang betul-betul kita miliki" terngiang kembali alasan Jenni yang dikatakannya beberapa menit yang lalu.
Jenni sadar setelah sepeda motor yang dia beli sekitar satu bulan lalu dari hasil menjual diri, lenyap dibawa kabur pencuri. Padahal dia menikmatinya baru beberapa hari. Yang membuatnya semakin menyesal karena pada saat duka menyelimuti hati, teman-temannya malah beranjak pergi. Meninggalkan dia, sendiri.
"Apa kau merasa jijik pada diriku, Vi?"
Dengan cepat kutempelkan jari telunjukku pada bibir tipis Jenni. Kemudian kupeluk dia. "Tak ada manusia yang luput dari dosa, Jen" kataku sambil berharap kalimat itu bisa menumbuhkan harapan di hatinya.
Aku memang tak setuju dengan apa yang dilakukan teman-temanku. Tetapi aku tak membenci mereka atau juga merasa jijik dengan diri mereka. Karena mereka, aku dan yang lainnya hanya-lah korban dari ketidaktahuan kami. Korban dari kebingungan kami.
Mungkin disaat seperti ini lah, kasih sayang harusnya membuktikan diri bahwa dia memang mampu menopang setiap pribadi ketika berada dalam kubangan pencobaan. Bukan memberi hukuman saat diri jatuh dalam kesalahan.