Â
Â
Â
BAGIAN IV
MUARE SEMAMAT
Berlayarlah Madasir dan Putri Selasih Kahyangan, kembali ke pertiwi yang menjadi titah sang ayah. Pekan terlintas, bulan berganti. Ratusan kelok sungai sebagut yang mulai akrab dilewati. Senja tak terasa mulai menyapa, sudah berkelok sungai ia lalui sampailah Madasir di muara sungai tak berombak. Dalam hati Madasir, apakah inilah tempat yang dimaksud Sang ayah.
Hutan rimba di tepi sungai cukuplah sebagai penanda bahwa di tempat itu tak berpenghuni. Perahu Madasir mulai menepi, mencari akar yang menjuntai ke pinggir sungai untuk berpegang. Pengawal mulai mengikatkan perahu pada sebatang pohon yang tumbuh dipesisir sungai yang sedikit landai. Mentari seakan menyampaikan salam perpisahan pada hari itu, rasa dingin mulai menyerbak, Madasir merintahkan para pengawal bergegas mengumpulkan dedaunan untuk alas tidur. Ia menata daun keladi teri13 yang telah dikumpukan di bawah batang tenam14. "Cukuplah untuk sekadar alas tidur malam ini kiranya" pikir Madasir sebagai tempat berteduh sementara. Reranting kering juga bukanlah hal yang sulit didapat di hutan belantara semacam itu. Disusun bertumpuk agar api mudah melalapnya, pengawal mulai menyalakan api sekadar penghangat badan dan pengusir binatang saat lelap sudah mulai memeluk.
Pagi menjelang, dipandanginya sekeliling. Pepohonan yang menjulang sekira dua depa orang dewasa masih banyak berbaris di darat itu. Tentu tak sulit mencari binatang buruan atau buah-buahan untuk kebutuhan sehari-hari. Daratan itu adalah daratan yang tepat jika hendak bermukim seperti pesan Sang ayah. Tepi sungaipun nampak mendukung sebab cukup landai untuk dituruni. Melihat dari atas bibir sungai, nampak ikan Seluang asik bermain. Sesekali ikan Ruan juga tak mau ketinggalan. Namun keraguan masih membekas di hari Madasir, "apakah benar ini tempatnya" gumam Madasir.
Tak ingin keraguan terus mendongeng, Madasirpun segera turun ke sungai. Dilepaskannya baju di badan, terlihat jelas dada berpetak, otot perut berukir seakan batu bata yang tersusun rapih. Madasir berencana menyelam untuk membuktikan, apakah ia mampu menjajakkan kaki ke dasar sungai. Seketika kakinya dimaskukkan ke dalam sungai, seketika itu pula sungai berombak mengamuk. Madasir terperanjat dan segera melompat ke bibir sungai. Beberapa detik kemudian, suara desing memekakkan telinga diiringi terjangan mematikan. Beruntung Ia mampu menghindar namun tiada dengan para pengawal. Ketujuh pengawal yang mendampingi Madasir terpental ke tebing dan pingsan seketika.
Perlahan benda hitam pekat muncul dari dasar sungai, nampak seperti kuali terbalik. Berulang lagi, suara mendesing memekakkan muncul disertai semburan cairan hijau menyemprot ke arah Madasir. Dengan gesit ia menghindar, saat terkena pepohonan nampak asap putih membumbung membuat pepohonan mati seketika. Bayangkan jika cairan itu mengenai tubuhnya, tentu Madasir akan meregang nyawa.
Menghadapi serangan bertubi-tubi, Madasir mulai memasang kuda-kuda sebagai sikap dasar ilmu puntau yang dikuasainya. Mulut komat-kamit membaca mantra, dengan kekuatan penuh Madasir menerjang benda hitam di tengah sungai. Di arahkannya tendangan kaki kanan tepat di titik tengah benda itu. Prak! Benturan keras terjadi, tetapi benda itu tak bergeming sama sekali. Jangankan hancur, tergorespun tidak. Saat tendangan mematikan itu terkena benda hitam, seketika itu pula ombak sungai meninggi, menghempaskan Madasir. Terlihat cairan merah menetes di sela bibirnya.