"Madasir anandakku, kini alam telah menjadi sahabatmu. Langkahmu sudah mulai tegap, tak lagi perlu dipapah." Arya Gayap membuka percakapan. Masih dengan khidmat Madasir menyimak. Dalam hati ia berkata-kata ada apakah gerangan, tak seperti biasanya Sang ayah membuka perbincangan dengan begitu kaku. Kicau suara jangkrik yang bersautan semakin membuat khidmat malam sendu itu. Sang ayah masih tetap bersila di atas amben3 beralas tikar anyaman. Sesekali api obor menari dibelai Sang bayu.
"Anandaku, janganlah kau artikan ayah ibu mu menyimpan benci. Tidak pula hendak membuatmu menderita. Tapi sudah saatnya kau menempah diri di dunia luar." Sambung Sang ayah. "baik ayahanda, ananda menerimah titah" Madasir membuka suara.
"Buatlah sejarah hidupmu sendiri anakku, berpetualanglah dikau. Selusurilah sungai Sebagut ini ke hilir. Saat kau menemukan air sungai tak berombak, tak pula terjajak kaki maka bermukimlah kau disana. Persuntinglah dara berbudi untukmu, untuk anak pianak keturunanmu. Jaga garis darahmu!" perintah Arya Gayap.
Mendengar titah diucapkan, Madasirpun paham maksud dari Sang ayah. Hatinya tergugah, seakan baru bangkit dari lamunan panjang. Ia tahu bahwa dirinya tak lagi terkurung pada cangkang kekanakan. Ia sudah menjadi pemuda dewasa, ada kewajiban yang harus ditunaikan. "Jika demikian titah ayahanda, ananda mohon restu" pungkas Madasir.
Sang surya di ufuk sudah mulai merona, ramai siulan burung silih berganti. Madasir bermohon diri untuk memulai pengembaraannya. Ia mulai menuruni anak tangga bersusun ganjil yang terbuat dari kayu ubo4. Gubuk beratap sirap5 yang telah menjadi istananya selama ini akan segera ia tinggalkan. Dinding kepang6 yang tertata seakan menjadi kertas bertuliskan beribu kenang. Sungai Sebagut yang berjarak hanya beberapa kar7 dari gubuk Sang ayah seakan memanggil untuk segera mendekat. Madasir melangkahkan kaki, bejalan pelan. Di sisi jalan yang tak terlalu lebar itu, ia seakan terbayang masa kecilnya. Jalan inilah yang selalu ia lewati sambil berlari saat akan pergi menuju pelanto8 di tepi sebagut.Â
Tak lama berselang, tibalah ia ditepian sungai Sebagut. Batang rengas9 berdiri tegap, sedikit menuruni tebing ditepi sungai sampailah ia di pelanto. Ulit10 tersusun rapih sebagai lantai pelanto mulai mengelupas karena terlalu sering diduduki. Tiang-tiang pelanto masih kokoh seperti terakhir Madasir terjun dari batang rengas ke sungai Sebagut saat masih kecil. Terikat perahu yang nampak kurus dari kejauhan, serupalah dengan perahu naga para saudagar. Hanya saja, perahu pedang milik Madasir terbuat dari sebatang kayu medang11, berwarna kekuningan lengkap dengan dayungnya.
Mulailah Madasir mendayung pelan, sedikit oleng pada dayungan pertama. Seperti perintah Sang ayah, Ia mendayung perahunya ke hilir sungai Sebagut. Di sisi kiri dan kanan sungai berbaris pepohonan rindang, belum terjamah sama sekali. Air sungai yang jernih bak mata kucing memberi ketenangan tersendiri bagi Madasir yang terus mendayung. Sejak kakinya mulai berpijak ke bumi belumlah pernah Ia meninggalkan gubuk Sang ayah sejauh ini.
Â
Â
Â
BAGIAN II