"Maafkan hamba tuanku atas kelancangan mengalahkan ayam jantan tuanku. Nama hamba Madasir tuanku. Hamba berasal dari nagari di uluan sungai Babat Punjung" jawab Madasir.
"Baiklah anak muda, karena kau telah mengalahkan ayam jantan milikku, sebagai bentuk penghormatan kuhadiahkan kau sepeti emas" lanjut Puyang Bajau Tujuh,
"Maafkan hamba tuanku, kiranya tuanku tiada menyimpan kecewa, sungguh hambah berterima kasih atas hadiahnya. Namun tuanku, izinkan hambah tidak menerima pemberian tuanku. Hambah hanya ingin mengukur diri dan bersahabat" Madasir berujar.
"Sungguh aneh anak muda, kau menolak pemberianku. Baiklah, jika demikian sudilah kiranya kau ke istanaku. Menerima jamuan." Pungkas Puyang Bajau Tujuh.
Sesampainya di istana, Puyang Bajau Tujuh menceritakan peristiwa itu pada Sang Putri. Putripun merasa heran, mengapa ada seorang pemuda yang tidak menginginkan onggokan emas yang berharga. Lelap yang biasanya menghiasi malamnya, kini tak kunjung tiba. Matanya enggan bersandar ke peraduan memikirkan seperti apa rupa jejaka itu.
Pancaran kemegahan istana Puyang Bajau Tujuh sudah terlihat dari kejauhan, Madasir ditemani Cik Ming memenuhi undangan Sang puyang ke istananya. Berbagai jenis lauk pauk, buah-buahan, dan minuman yang menyegarkan sudah terhidang di atas meja jamuan. Melihat pemandangan yang tersaji, Cik Ming lupa diri. Makan dengan begitu lahapnya. Namun tidak dengan Madasir yang hanya memakan hidangan secukupnya.
"Apakah hidangan yang disajikan tidak sesuai selera anak muda" sergah Puyang Bajau Tujuh.
"Sungguh sempurna hidangan yang disajikan tuanku, namun memang sedemikianlah tuanku. Cukuplah lidah memantaskan diri dengan hidangan yang selezat ini." Sahut Madasir.
Di balik tirai, Sang Putri tak melepaskan pandangan dari Sang pemuda gagah. Entah mengapa, di dalam dadanya ada denyutan tak biasa. Entah mengapa pipinya merona kemerahan. Ada rasa menyesal ketika mata berkedip dari memandang pemuda itu. "Tuhan membawamu kehadapan ayahanda" bisiknya dalam hati. Seakan penantian berwindu terjawab sudah. Ada rasa yang terdorong dibalik kebaya ungu yang dikenakannya untuk merebahkan asa pada sang pemuda. Kokok ayam jantan mulai bernyanyi, menghiasai fajar berembun namun Putri Selasih Kahyangan tak pula menemukan kantuk. Bayang Madasir menggelitik pelupuk matanya, membuai riang tak tertahan.
Disuguhkan keelokan budi Madasir, pencarian Puyang Bajau Tujuh terjawablah. Akhirnya Sang Putri kesayangan disandingkan dengan Madasir. Semua penduduk nagari bersuka cita, pesta rakyat dihelat begitu megah. Wujud syukur yang tak pula salah kiranya. Berjuntai pekan telah dilewati, Madasir dan Sang Putri pun meminta diri pada Puyang Bajau Tujuh untuk kembali ke uluan sungai tempat Madasir berasal.
Berat hati sungguh, Puyang Bajau Tujuh melepas putri belahan jiwa bersama sang menantu. Dibekalkan olehnya Perahu Pedang Tali Air, gagah perkasa mengarung sungai. Geladak bersusun kayu berkualitas dengan kemudi bergerigi seberti rodak kecil. Cukuplah untuk menampung segala macam perabot untuk bermukim dua sejoli itu. Tak tega Sang ayah melepas putri tercinta ber-sumang12 diri, disertakan pula para dayang barang tiga orang. Para pengawal nan gagah berani tak lupa menyertai, tujuh orang jumlahnya.