Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pahami Istilah Real Food, Whole Food, dan Processed Food

9 Oktober 2025   19:36 Diperbarui: 10 Oktober 2025   13:13 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengolah makanan | Sumber gambar: Vitor Mothay/unsplash.com

Kita hidup di zaman ketika istilah bisa dengan mudah disalahartikan, termasuk istilah tentang makanan.
Belakangan ini, muncul tren yang menyebut bahwa "real food" adalah makanan yang sehat, alami, tidak diproses, dan berasal langsung dari alam.
Sementara itu, "processed food" dianggap seolah bukan makanan sungguhan.

Di sinilah masalahnya bermula. Jika kita berpikir logis, processed food tetaplah real food (makanan yang nyata, bisa dimakan).
Makanan tersebut nyata, bisa dimakan, dan memberi gizi. Itu bukan benda plastik yang hanya menyerupai makanan.

Karena itu, penyebutan "real food" menjadi aneh ketika makanan yang diolah dianggap bukan makanan nyata.

Perlu kita pahami, lawan kata dari real adalah fake, bukan processed. Dari sini sudah jelas sekali apa perbedaannya. Dua lawan kata tersebut menggambarkan kondisi makanan tersebut yang asli dan tipuan, sedangkan kata "processed" merujuk pada sebuah pengolahan, sebuah proses bagaimana makanan itu dibuat.

Saat Istilah Diubah Menjadi Keyakinan

Kesalahpahaman ini muncul karena media sosial dan tren gaya hidup sering mencampuradukkan istilah "ilmiah" dengan opini pribadi tanpa memahami makna atau definisi dari kata itu sendiri.

Banyak influencer gizi yang mengajak masyarakat "kembali ke real food" seolah-olah processed food adalah racun bagi tubuh.

Padahal, tidak ada makanan yang benar-benar tidak diproses.
Ketika kita mencuci beras, merebus telur, atau menggoreng ikan, semua itu sudah termasuk proses.
Mengeringkan, menggiling, menghaluskan, dan memfermentasi juga termasuk bentuk pengolahan makanan.

Artinya, setiap makanan yang melewati tangan manusia sudah termasuk processed food, dan hal itu sama sekali bukan masalah.

Jika begitu, apakah tempe bukan real food karena difermentasi?

Apakah roti gandum tidak nyata karena melalui proses pemanggangan?

Atau apakah susu UHT tidak lagi nyata karena dipasteurisasi?

Tentu saja tidak. Semua itu adalah real food yang melalui tahapan pengolahan.

Real Food Bukan Lawan dari Processed Food

Seperti yang tadi sudah saya jelaskan di awal, bahwa lawan kata real adalah fake.
Maka, fake food berarti makanan palsu, makanan yang tidak bisa dikonsumsi, atau makanan yang hanya menyerupai makanan.

Contoh fake food adalah buah plastik di meja ruang tamu, replika sushi di etalase restoran Jepang, atau burger tiruan di iklan yang hanya untuk display.
Semua itu bukan makanan sungguhan karena tidak bisa dimakan.

Sebaliknya, processed food seperti sosis, keju, tempe, roti, dan tahu adalah makanan nyata, yang artinya kita dapat memakannya, memperoleh energi darinya, dan semuanya nyata secara biologis.

Karena itu, menyebut processed food sebagai "bukan real food" adalah kesalahan berpikir.
Pernyataan tersebut setara dengan mengatakan "air panas bukan air sungguhan" hanya karena suhunya berubah.

Memahami Perbedaan antara Whole Food dan Processed Food

Agar tidak salah paham, kita perlu memahami istilah yang benar secara ilmiah. Whole food berarti makanan yang utuh, belum banyak diproses, dan masih mendekati bentuk aslinya. Contohnya adalah buah segar, sayuran, beras merah, telur, dan kacang-kacangan.

Sementara itu, processed food adalah makanan yang sudah mengalami perubahan bentuk atau komposisi agar lebih tahan lama, mudah dikonsumsi, atau menarik secara rasa. Proses ini bisa sangat sederhana, seperti pemotongan dan pengeringan, atau sangat kompleks, seperti pembuatan mi instan dan makanan kaleng.

Dengan kata lain, Whole food adalah jenis makanan berdasarkan tingkat pengolahannya, sedangkan processed food adalah hasil dari proses pengolahan itu sendiri.

Keduanya masih termasuk real food, tidak ada yang palsu di antara keduanya. Pembedanya hanyalah seberapa banyak tingkat dan tujuan prosesnya.

Ketika Plant-Based Food Justru Membingungkan

Ironisnya, kini banyak orang menganggap makanan berbasis tanaman yang dibuat menyerupai daging sebagai "real food" hanya karena labelnya plant-based.
Padahal, secara logika dan proses pembuatannya, makanan berbasis tumbuhan yang dibuat menyerupai daging itu justru disebut fake meat, yaitu daging tiruan yang direkayasa secara tekstur dan rasa agar mirip dengan daging sapi atau ayam.

Tidak ada yang salah dengan produk tersebut. Produk tersebut bisa menjadi pilihan etis, ramah lingkungan, dan bergizi.
Namun, menyebutnya real food hanya karena berasal dari tanaman adalah kekeliruan logika yang sama.

Jika kita konsisten dengan sebuah definisi suatu kata, maka fake meat tetaplah makanan olahan tiruan. Daging tiruan itu tetaplah real food dalam arti bisa dimakan, tetapi fake meat dalam konteks kategorinya, artinya apa? Fake, tapi diabukan fake, tapi jatuhnya sebagai processed food. Malah bisa jadi itu masuk dalam ultra processed food.

Dengan demikian, artinya, sesuatu bisa real dan fake pada level yang berbeda tergantung konteksnya. Inilah alasan mengapa kita perlu berpikir jernih dan tidak menelan mentah-mentah istilah tren yang tidak memiliki dasar ilmiah.

Mengapa Kesalahan Istilah Bisa Berbahaya

Sekilas, kesalahpahaman ini tampak sepele. Namun, kesalahan istilah sering berdampak besar pada perilaku masyarakat.
Banyak orang menjadi takut makan roti, keju, atau susu pasteurisasi karena dianggap bukan "real food". Padahal, teknologi pengolahan makanan diciptakan untuk meningkatkan keamanan, daya simpan, dan efisiensi gizi.

Dengan memahami perbedaan antara whole food dan processed food, kita bisa lebih bijak dalam memilih makanan.
Kita dapat mengenali mana yang perlu dibatasi karena tinggi gula atau garam, dan mana yang tetap aman selama dikonsumsi secara seimbang.

Masalahnya bukan pada proses pengolahannya, tetapi pada cara kita memaknai dan menggunakannya.

Kesimpulan

Makanan selalu memiliki cerita, baik yang berasal dari ladang maupun dari pabrik.
Yang membedakan bukanlah real atau tidaknya, melainkan seberapa bijak kita mengenalinya.

Jika kita terus salah paham dan menilai makanan hanya dari label "real" atau "processed", kita akan terjebak dalam moralitas palsu tentang makan.
Seolah-olah makanan bisa dibagi antara yang baik dan jahat hanya karena kata.

Padahal, semua makanan adalah real food selama bisa dimakan dan memberi gizi.
Hal yang perlu kita lakukan hanyalah makan dengan kesadaran, pengetahuan, dan rasa hormat terhadap prosesnya, baik yang tumbuh di ladang, dimasak di dapur, maupun diproduksi di pabrik.

Pada akhirnya, yang membedakan bukan seberapa alami makanan itu, tetapi seberapa bijak kita memperlakukan tubuh kita sendiri, termasuk dengan makanan seperti apa yang akan kita konsumsi. Sebutan kerennya, kamu adalah apa yang kamu makan, "You are what you eat".

Daftar Pustaka

  • Monteiro, C. A., et al. (2019). The UN Decade of Nutrition, the NOVA Food Classification and the Trouble with Ultra-Processing.

  • FAO. (2022). Understanding Processed Foods and Their Role in Nutrition.

  • WHO. (2023). Food Processing and Global Nutrition Patterns.

  • Harvard Health Publishing. (2024). Whole Foods vs. Processed Foods: Understanding the Difference.

  • The Conversation. (2023). Why the Term "Real Food" is Scientifically Misleading.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun