Tidak ada yang salah dengan produk tersebut. Produk tersebut bisa menjadi pilihan etis, ramah lingkungan, dan bergizi.
Namun, menyebutnya real food hanya karena berasal dari tanaman adalah kekeliruan logika yang sama.
Jika kita konsisten dengan sebuah definisi suatu kata, maka fake meat tetaplah makanan olahan tiruan. Daging tiruan itu tetaplah real food dalam arti bisa dimakan, tetapi fake meat dalam konteks kategorinya, artinya apa? Fake, tapi diabukan fake, tapi jatuhnya sebagai processed food. Malah bisa jadi itu masuk dalam ultra processed food.
Dengan demikian, artinya, sesuatu bisa real dan fake pada level yang berbeda tergantung konteksnya. Inilah alasan mengapa kita perlu berpikir jernih dan tidak menelan mentah-mentah istilah tren yang tidak memiliki dasar ilmiah.
Mengapa Kesalahan Istilah Bisa Berbahaya
Sekilas, kesalahpahaman ini tampak sepele. Namun, kesalahan istilah sering berdampak besar pada perilaku masyarakat.
Banyak orang menjadi takut makan roti, keju, atau susu pasteurisasi karena dianggap bukan "real food". Padahal, teknologi pengolahan makanan diciptakan untuk meningkatkan keamanan, daya simpan, dan efisiensi gizi.
Dengan memahami perbedaan antara whole food dan processed food, kita bisa lebih bijak dalam memilih makanan.
Kita dapat mengenali mana yang perlu dibatasi karena tinggi gula atau garam, dan mana yang tetap aman selama dikonsumsi secara seimbang.
Masalahnya bukan pada proses pengolahannya, tetapi pada cara kita memaknai dan menggunakannya.
Kesimpulan
Makanan selalu memiliki cerita, baik yang berasal dari ladang maupun dari pabrik.
Yang membedakan bukanlah real atau tidaknya, melainkan seberapa bijak kita mengenalinya.
Jika kita terus salah paham dan menilai makanan hanya dari label "real" atau "processed", kita akan terjebak dalam moralitas palsu tentang makan.
Seolah-olah makanan bisa dibagi antara yang baik dan jahat hanya karena kata.
Padahal, semua makanan adalah real food selama bisa dimakan dan memberi gizi.
Hal yang perlu kita lakukan hanyalah makan dengan kesadaran, pengetahuan, dan rasa hormat terhadap prosesnya, baik yang tumbuh di ladang, dimasak di dapur, maupun diproduksi di pabrik.
Pada akhirnya, yang membedakan bukan seberapa alami makanan itu, tetapi seberapa bijak kita memperlakukan tubuh kita sendiri, termasuk dengan makanan seperti apa yang akan kita konsumsi. Sebutan kerennya, kamu adalah apa yang kamu makan, "You are what you eat".
Daftar Pustaka