Program Makanan Bergizi Gratis (MBG) adalah salah satu kebijakan besar yang diharapkan mampu mengatasi masalah gizi anak-anak Indonesia. Tujuan utamanya sederhana namun krusial: memastikan setiap anak di sekolah mendapatkan asupan makanan yang cukup, sehat, dan bergizi. Dengan begitu, mereka bisa belajar lebih baik, tumbuh optimal, dan memiliki masa depan yang cerah.
Namun, dalam perjalanan implementasinya, muncul tantangan serius yang tidak bisa diabaikan. Tantangan ini bukan sekadar soal logistik atau ketersediaan bahan baku, melainkan juga soal keberadaan kantin sekolah yang selama ini menjadi denyut nadi ekonomi mikro di lingkungan pendidikan. Hampir setiap sekolah di Indonesia memiliki kantin, biasanya diisi oleh tenant-tenant yang menjual beragam makanan dan minuman.
Jika program MBG berjalan dengan pola dapur terpusat, makanan dikirim dari luar, dan siswa mendapat jatah gratis, maka muncul pertanyaan besar: apa kabar nasib tenant-tenant kantin itu? Apakah mereka akan tersisih, kehilangan penghasilan, atau justru bisa ikut diberdayakan dalam program?Â
Pertanyaan inilah yang menjadi inti dari diskusi besar tentang integrasi MBG dengan sistem kantin sekolah. Sekaligus, ini merupakan lanjutan solusi dari artikel saya yang berjudul "Darurat Keracunan Makanan".
Kantin Sekolah, Lebih dari Sekadar Tempat Jual Beli
Kantin sekolah tidak hanya tempat membeli makanan. Ia adalah bagian dari ekosistem sosial dan ekonomi di sekitar sekolah. Tenant kantin umumnya berasal dari warga sekitar, ibu-ibu rumah tangga, atau pedagang kecil yang menjadikan kantin sebagai sumber penghasilan utama. Keberadaan mereka bukan hanya menyuplai makanan, tetapi juga memberi lapangan kerja dan menggerakkan roda ekonomi lokal.
Bagi siswa, kantin juga punya fungsi sosial. Di sanalah mereka berkumpul, bersosialisasi, atau sekadar menikmati camilan ringan bersama teman. Kantin adalah ruang interaksi penting yang tidak bisa digantikan oleh sekadar dapur distribusi makanan.
Dengan kata lain, keberadaan kantin sekolah menyentuh dimensi gizi, ekonomi, dan sosial. Maka, setiap perubahan kebijakan pangan sekolah harus mempertimbangkan tiga dimensi ini secara bersamaan.
Risiko Konflik antara MBG dan Tenant
Program MBG membawa potensi konflik karena memberi makanan gratis kepada siswa. Jika makanan pokok seperti nasi, lauk, dan sayur sudah tersedia secara cuma-cuma, maka permintaan terhadap makanan sejenis yang dijual tenant akan menurun drastis. Tenant berpotensi kehilangan pendapatan, bahkan gulung tikar.
Di sisi lain, meniadakan tenant sama saja dengan menghapus mata pencaharian masyarakat kecil. Ini bisa menimbulkan resistensi sosial, terutama di daerah di mana kantin sekolah menjadi sumber penghasilan penting bagi keluarga.
Maka, perlu solusi integratif. MBG tidak boleh dilihat hanya sebagai program gizi, tetapi juga program sosial-ekonomi.