Penelitian menyebutkan bahwa anak-anak usia sekolah memilih larutan dengan kadar gula dua kali lebih tinggi daripada yang disukai orang dewasa (Mennella, Lukasewycz, Griffith, & Beauchamp, 2011). Hal ini konsisten dengan kebutuhan energi mereka yang lebih besar relatif terhadap ukuran tubuh.
Preferensi terhadap manis adalah bentuk adaptasi untuk bertahan hidup. Di alam, makanan yang manis biasanya aman dan kaya energi, seperti buah atau madu. Sebaliknya, rasa pahit sering diasosiasikan dengan racun tumbuhan.
Karena itu, anak-anak secara naluriah cenderung menolak pahit dan lebih memilih manis. Inilah alasan mengapa obat-obatan anak sering ditambahkan pemanis, agar lebih mudah diterima.
Selain faktor biologis, lingkungan juga berperan. Produk pangan untuk anak memang sering diformulasikan lebih manis, baik untuk menyesuaikan preferensi alami maupun untuk meningkatkan penerimaan produk. Susu formula, sereal, biskuit, hingga vitamin sirup biasanya memiliki rasa manis yang dominan.
Namun, paparan berlebihan terhadap gula tambahan bisa memperkuat preferensi ini dan membentuk kebiasaan makan yang tidak sehat.
Risiko Konsumsi Gula Berlebih
Meskipun manis dibutuhkan, terlalu banyak gula olahan membawa risiko serius, seperti:
Obesitas anak: konsumsi gula berlebih meningkatkan risiko kelebihan berat badan.
Masalah gigi: karies gigi pada anak banyak disebabkan oleh gula sederhana.
Risiko metabolik jangka panjang: pola makan tinggi gula sejak kecil bisa meningkatkan risiko diabetes tipe 2 di kemudian hari.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2015) merekomendasikan agar asupan gula tambahan dibatasi maksimal 10% dari total energi harian, bahkan lebih baik jika di bawah 5%.
Penting untuk membedakan antara manis alami dan gula tambahan.