Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Pernah Merasa Sakit dan Setelah Dicek Hasilnya Sehat? Namanya Psikosomatik.

10 Juli 2025   14:25 Diperbarui: 17 Juli 2025   10:03 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sedang stress | Sumber gambar: Adrian Swancar/unsplash

Apakah kita pernah merasakan sakit di badan, akan tetapi ketika datang ke dokter ternyata kesehatan kita baik-baik saja? Kemudian, apakah pernah yang awalnya kita tidak pernah sakit, tapi tiba-tiba menjadi "banyak penyakit" setelah merasakan kekecewaan, terlepas dari tekanan, atau sedang menghadapi ketakutan? Jika kita pernah merasakan seperti itu, itu adalah gejala dari rasa sakit semu yang disebut sebagai psikosomatik.

Salah satu konsep yang menjelaskan "psikosomatik", yaitu sebuah istilah yang menggambarkan kondisi fisik yang muncul atau diperparah oleh faktor psikologis. Psikosomatik berasal dari kata "psyche" (jiwa) dan "soma" (tubuh), yang berarti bahwa pikiran, emosi, dan kondisi psikologis seseorang dapat mempengaruhi keadaan fisiknya. Nah, berikut ini, izinkan saya menjelaskan mengenai efek psikosomatik terhadap tubuh kita.

Apa itu psikosomatik?

Psikosomatik bukan sekadar gejala fisik yang "dibayangkan" atau "dibuat-buat," tetapi kondisi nyata yang dapat mempengaruhi organ dan sistem tubuh. Misalnya, seseorang yang mengalami kecemasan berat dapat menderita sakit kepala, nyeri dada, gangguan lambung, atau bahkan tekanan darah tinggi. Kemudian, karena kita "denial" atau menolak bahwa kita sedang cemas, kita berpikir bahwa mendadak kita mengalami serangan jantung atau malah terkena GERD yang padahal kita belum pernah mengalami hal tersebut.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengakui bahwa stres dan kondisi emosional merupakan faktor penting dalam perkembangan berbagai penyakit kronis, seperti penyakit jantung, diabetes tipe 2, dan gangguan autoimun (WHO, 2020).

Salah satu mekanisme utama dari kondisi psikosomatik adalah aktivasi sistem saraf simpatis, yang memicu pelepasan hormon stres seperti kortisol dan adrenalin. Ketika stres berlangsung lama (stres kronis), tubuh berada dalam keadaan siaga terus-menerus yang akhirnya dapat merusak jaringan tubuh dan menurunkan sistem kekebalan. Sebuah studi dari American Psychological Association (APA) menunjukkan bahwa stres berkepanjangan dapat memicu inflamasi sistemik (peradangan menyeluruh) dalam tubuh yang berkontribusi terhadap perkembangan berbagai penyakit kronis (Segerstrom & Miller, 2004).

Dampak Psikosomatik terhadap Kualitas Hidup

Individu yang mengalami gangguan psikosomatik sering kali menghadapi tantangan yang kompleks, baik secara fisik maupun emosional. Mereka mungkin merasa frustrasi karena gejala fisik mereka tidak selalu bisa dijelaskan melalui tes laboratorium atau pencitraan medis. Akibatnya, mereka dapat merasa tidak dipahami oleh tenaga medis, keluarga, maupun lingkungan sosialnya.

Kondisi ini berdampak serius terhadap kualitas hidup. Studi oleh Barsky et al. (2001) menemukan bahwa pasien dengan gangguan somatisasi, yaitu bagian dari spektrum gangguan psikosomatik menunjukkan tingkat kepuasan hidup yang lebih rendah, produktivitas kerja menurun, dan lebih sering menggunakan layanan kesehatan dibanding pasien dengan gangguan medis yang jelas. Mereka juga memiliki risiko lebih tinggi mengalami depresi dan kecemasan, yang kemudian memperparah gejala fisik yang dirasakan.

Kualitas tidur penderita psikosomatik juga sering terganggu. Gangguan tidur memperburuk kondisi kesehatan secara umum, menurunkan daya tahan tubuh, dan menghambat proses pemulihan. Dalam jangka panjang, siklus antara stres, gejala fisik, dan kecemasan menjadi lingkaran setan yang sulit diputus jika tidak ditangani secara menyeluruh.

Apakah kita pernah mendengar 90% penyakit berasal dari pikiran? Meskipun pernyataan ini populer dalam diskursus spiritual dan motivasional, sayangnya hal tersebut belum memiliki landasan ilmiah yang kuat. Belum ada penelitian besar yang secara kuantitatif dapat menyimpulkan angka tersebut. Namun, penting untuk diakui bahwa faktor psikologis memang memainkan peran besar dalam kesehatan. Sebuah ulasan oleh Schneiderman et al. (2005) menyatakan bahwa stres psikologis berkontribusi terhadap perkembangan dan progresi penyakit seperti penyakit jantung, kanker, dan gangguan metabolik.

Faktor lain seperti pola makan, kebersihan lingkungan, genetika, dan gaya hidup juga berperan besar. Oleh karena itu, pendekatan yang menyeimbangkan antara perawatan fisik dan pengelolaan mental-emotional menjadi sangat penting. Tidak adil dan tidak akurat jika semua penyakit disalahkan hanya pada pikiran, karena hal ini dapat menimbulkan rasa bersalah pada pasien dan mengabaikan aspek medis yang sah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun