Mohon tunggu...
Bagas Kurniawan
Bagas Kurniawan Mohon Tunggu... Biotechnologist and Food Technologist

Konsultan Manajemen Mutu dan Keamanan Pangan. Penulis Artikel. Berbagi ilmu dengan cara santai. Blog pribadi: https://www.nextgenbiological.com/ Email: cristanto.bagas@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Kita yang Memilih Mengonsumsi Nasi atau "Sistem" yang Membuat Kita Mengonsumsi Nasi?

13 Juni 2025   08:09 Diperbarui: 13 Juni 2025   13:15 498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Membahas tentang cita-cita kita mengenai swasembada pangan, tentu saja yang terbesit pertama kali di pikiran adalah keberhasilan kita sebagai negara yang melakukan swasembada beras pada era pemerintahan Presiden Kedua kita, Bapak Soeharto. Pada saat itu, Indonesia menjadi negara yang berhasil dalam sektor pertanian, sehingga kita bisa melakukan swasembada yang artinya kita dapat memenuhi kebutuhan pangan saat itu.

Bayangkan betapa maju dunia pertanian saat itu dan sejalan dengan negara kita yang merupakan negara agraris. Istilah negara agraris ini menggambarkan kehidupan negara kita tidak jauh dari dunia pertanian. 

Dunia pertanian tentu berkaitan dengan kondisi alam yang subur, sehingga menurut saya pribadi, pemberdayaan sektor pertanian, tentu bisa menjadi ladang bisnis yang menjanjikan mengingat kebutuhan pangan dunia juga semakin meningkat.

Kita ini negara yang tidak kekurangan bahan pangan. Banyak sekali bahan pangan yang dapat kita konsumsi, dari produk serealia seperti nasi, sorgum, jelai, kemudian produk karbohidrat lainnya, yaitu sagu, kentang, umbi-umbian, dan masih banyak lainnya. Tapi, kenapa harus nasi? Apakah  kita ini betul-betul hanya mengonsumsi nasi? Kenapa tidak kita coba galakkan untuk swasembada singkong, sagu, jagung, sorgum, gelai, kentang, atau bahan pangan lainnya? Sumber karbohidrat, sumber pangan lainnya ada banyak macamnya loh.

Memang kenyataannya, nasi telah lama menempati posisi istimewa dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nasi bukan sekedar makanan pokok, tetapi bagian dari identitas budaya, simbol kemakmuran, dan bahkan alat stabilitas politik. 

Di warteg hingga hotel bintang lima, dari ritual adat hingga kampanye politik, nasi itu akan selalu hadir di hadapan kita. Namun, di tengah perdebatan soal kedaulatan pangan dan krisis ketergantungan terhadap satu komoditas, muncul pertanyaan mendasar: Apakah benar masyarakat Indonesia memilih nasi karena selera, atau karena sistem yang telah membentuk preferensi itu selama puluhan tahun?

Ilustrasi Mengonsumsi Nasi | Sumber gambar: Faris Mohammed/unsplash
Ilustrasi Mengonsumsi Nasi | Sumber gambar: Faris Mohammed/unsplash

Kenapa Nasi?

Menurut Badan Pusat Statistik (2022), rata-rata konsumsi beras nasional mencapai sekitar 96 kilogram per kapita per tahun. Angka ini menunjukkan betapa tingginya ketergantungan masyarakat terhadap beras, bahkan lebih tinggi dibandingkan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Di balik dominasi ini, ada sejarah panjang intervensi kebijakan negara terhadap sistem pangan nasional.

Sejak era Orde Baru, program Revolusi Hijau mendorong industrialisasi pertanian padi: dari penggunaan benih unggul, pupuk kimia, irigasi skala besar, hingga pembentukan Bulog yang bertugas menyerap gabah dan menjaga harga beras. Dalam ekosistem tersebut, padi bukan hanya tanaman, tapi komoditas politik. Negara menjadikannya indikator keberhasilan, simbol ketahanan pangan, bahkan alat legitimasi kekuasaan.

Kampanye gizi nasional sejak tahun 1950-an—seperti “4 Sehat 5 Sempurna” dan “Nasi adalah Energi” ini sangat mengakar kuat di sekolah dan media massa. Hasilnya, masyarakat secara kolektif menyerap keyakinan bahwa makan sehat dan lengkap harus disertai nasi. Alternatif lain seperti jagung, ubi, singkong, dan sagu, yang sebelumnya dominan di banyak wilayah Nusantara, dipinggirkan dan dilabeli sebagai makanan kelas dua, makanan darurat, atau makanan orang miskin.

Wacana kedaulatan pangan menekankan pentingnya hak masyarakat untuk menentukan sistem pangan mereka sendiri, termasuk produksi, distribusi, dan konsumsi. Namun dalam praktiknya, sistem pangan kita justru menyempitkan pilihan. Meskipun Indonesia memiliki lebih dari 77 jenis sumber karbohidrat lokal, seperti dicatat Badan Pangan Nasional, hanya beras yang secara sistematis didukung oleh subsidi, distribusi, dan regulasi harga.

Program bantuan sosial seperti BPNT (Bantuan Pangan Non Tunai) hingga bansos darurat hanya menyalurkan beras, telur, dan minyak goreng. Tidak ada singkong, sagu, atau ubi dalam paket tersebut. Supermarket modern pun lebih banyak menyediakan beras dalam berbagai merek premium, sementara produk pangan lokal sulit ditemukan dan minim promosi.

Padahal, data BPS menunjukkan tren peningkatan konsumsi pangan non-beras. Selama 2013–2022, konsumsi gaplek naik 27%, talas 14%, kentang 7%, singkong 6%, dan ubi jalar 5%. Ini bukti bahwa ketika akses dan edukasi tersedia, masyarakat mulai terbuka pada keragaman sumber pangan (BPS, 2022). Namun, tanpa dukungan sistemik, tren ini bisa stagnan.

Ketika negara bergantung pada satu jenis pangan, maka gangguan produksi bisa berujung krisis. Tahun 2023 menjadi alarm besar: produksi beras nasional anjlok akibat El Niño dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif. Luas panen menyusut 2,2%, dan produksi turun 1,84% dibanding tahun sebelumnya, hanya mencapai 30,89 juta ton (BPS, 2024).

Kondisi ini memaksa pemerintah membuka keran impor beras sebesar 3 juta ton. Hingga September 2023 saja, Indonesia telah mengimpor 1,7 juta ton beras (Kompas, 2023). Ironisnya, di saat kebutuhan melonjak dan harga naik, pangan lokal yang seharusnya bisa menjadi penyangga malah terabaikan.

Padahal, saudara-saudara kita di luar sana mengonsumsi sumber karbohidrat selain nasi. Saudara kita dari timur menikmati hidangan seperti papeda, umbi, dan mungkin bisa dibilang hampir tidak mendengar berita kelangkaan beras di sana. 

Semuanya tersentralisasi di pulau jawa dan seakan menjadi berita nasional. Padahal, jika kita juga fokus dalam pengembangan sektor bahan pangan lainnya, kemudian pihak dari pemerintah seperti Kemenkes atau Dinkes setempat dalam mensosialisasikan bahan pangan alternatif, dan juga peranan Badan Pangan Nasional untuk memberdayakan sumber pangan lainnya.

Memberikan edukasi kepada keluarga baru yang nantinya akan diturunkan ke generasi yang baru, saya rasa cukup efektif untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran bahwa kita, di Indonesia, tidak kekurangan bahan pangan alternatif. Jadi, ketika terjadi kesulitan sumber karbohidrat seperti beras (yang akan menjadi nasi), yasudah, kita bisa berdayakan sumber pangan lainnya.

Sagu di Papua dan Maluku, singkong di Jawa, dan jagung di Nusa Tenggara punya potensi besar untuk memperkuat ketahanan pangan wilayah. Tapi sistem distribusi dan harga tidak memberi ruang yang adil. Petani enggan menanam selain padi karena tak ada jaminan pembeli dan harga. Masyarakat sulit beralih karena produk alternatif jarang tersedia dan tidak dipromosikan.

Saatnya Memberi Ruang untuk Memilih

Pertanyaan yang layak diajukan bukan hanya: “Kenapa masyarakat Indonesia enggan makan selain nasi?”, tapi juga: “Apakah sistem memberi mereka peluang yang adil untuk memilih?”

Pilihan makanan adalah hasil dari proses panjang interaksi antara selera, ekonomi, budaya, dan kebijakan publik. Jika nasi terus didorong sebagai satu-satunya pilihan yang aman, murah, dan tersedia, maka pilihan lain tidak akan tumbuh. Kedaulatan pangan berarti:

  • Memastikan akses yang setara ke semua jenis pangan lokal

  • Memberi insentif ekonomi bagi petani untuk menanam pangan non-padi

  • Mendistribusikan produk pangan lokal melalui pasar modern dan program sosial

  • Mengubah narasi pendidikan dan media bahwa makan tidak harus selalu dengan nasi

Kesimpulan

Jadi betul, nasi adalah bagian dari identitas Indonesia, tapi ketergantungan mutlak pada nasi adalah risiko besar. Kita membutuhkan sistem pangan yang tangguh, beragam, dan inklusif. Kedaulatan pangan bukan sekadar soal memenuhi kebutuhan kalori, tapi tentang memberi kontrol kepada masyarakat terhadap apa yang mereka tanam, makan, dan wariskan.

Pemerintah, pelaku industri, media, dan masyarakat sipil harus bersama-sama membangun sistem pangan yang memungkinkan rakyat memilih makanan berdasarkan kebutuhan dan nilai hidup mereka, bukan karena keterpaksaan sistemik.

Saat sistem memberi ruang, masyarakat akan memilih bukan karena harus, tetapi karena mereka bisa.

Referensi

Badan Pusat Statistik. (2022). Konsumsi Beras per Kapita. https://www.bps.go.id

Badan Pusat Statistik. (2024). Produksi Padi dan Jagung 2023. https://www.bps.go.id/pressrelease/2024/02/28/2031/produksi-padi-dan-jagung-2023.html

Badan Pusat Statistik. (2022). Pola Konsumsi Pangan Penduduk Indonesia 2022. https://www.bps.go.id/publication/2023/02/28/99fd3a981a9e98943cfdce08/pola-konsumsi-pangan-penduduk-indonesia-2022.html

FAO. (2006). Food Security and Food Sovereignty. http://www.fao.org

Badan Pangan Nasional. (2023). Neraca Pangan Nasional dan Proyeksi Produksi. https://satudata.badanpangan.go.id

Kompas. (2023). Indonesia Impor Beras 2 Juta Ton, Ini Alasannya. https://www.kompas.com/global/read/2023/10/02/070000770/apa-penyebab-indonesia-masih-mengimpor-beras

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun