Mohon tunggu...
Azzatunnabila
Azzatunnabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2019, Universitas Negeri Jakarta

Diri Sendiri yang membuatnya sulit

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bijak Bermedia Sosial atau Pembungkaman Kebebasan Berpendapat

31 Oktober 2022   08:29 Diperbarui: 31 Oktober 2022   08:46 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

 

BIJAK BERMEDIA SOSIAL

           Pada era ini, media digital semakin berkembang, sehingga penyebaran informasi bergerak dengan cepat dan mudah diakses untuk semua kalangan. Media sosial di Indonesia menjadi aspek penting individu dalam berpendapat dan berekspresi. Hal ini sesuai dengan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)  yang dikutip dari cnbc.com pada Tahun 2022 mencapai kurang lebih 210 juta yang meningkat secara signifikan sejak pandemi menyerang Indonesia sejak Maret 2020. Pandemi yang membuat masyarakat lebih banyak di rumah karena harus membatasi interaksi dengan dunia luar membuat mereka lebih banyak mengetahui keadaan dunia luar melalui internet.

           Penyebaran informasi yang sangat cepat bisa mendatangkan dampak positif dan negatif karena disatu sisi bisa mendatangkan informasi lebih luas dan cepat dan di sisi lain bisa mempercepat penyebaran hoax jika tidak berasal dari kebenaran, sehingga bisa memunculkan konflik di masyarakat. Oleh karena itu, hukum ada untuk mencegah hal tersebut semakin banyak terjadi karena penyebaran informasi adalah tanggung jawab si penyebar, sehingga diperlukan pemeriksaan kembali kebenaran informasi sebelum menyebarkannya.

           John Mill Stuart berpendapat bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga adanya kebebasan bukan berarti semena-mena terhadap orang lain tetapi ada batasan untuk tidak menyebabkan kerugian atau menyakiti orang lain. Konsep tersebut menjelaskan bahwa kebebasan itu tidak bersifat mutlak karena kebebasan kita terdapat kebebasan orang lain. Oleh karena itu, meskipun teknologi semakin maju hak kita untuk mengeluarkan pendapat harus beriringan dengan hak orang lain. Lalu apakah kita akan selalu berpatokan oleh orang lain?

           Sepertinya iya, karena di Indonesia sendiri terdapat UU ITE yang dikeluarkan untuk merespon perkembangan digital di masyarakat. Pada pasal 27 ayat (3) berbunyi bahwa: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Namun, sepertinya undang-undang ini masih menjadi kontroversi karena masih banyak pasal yang dinilai bisa membungkam kebebasa berpendapat, dimana terdapat kalimat terakhir mengenai pencemaran nama baik yang masih bias.

           Padahal Indonesia sendiri sudah bebas dari Orde Baru yang selama ini membungkam hak berpendapat masyarakat, sehingga dengan munculnya UU ITE dianggap bisa kembali memunculkan kondisi saat Orde Baru. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bisa mengkaji ulang setiap pasal yang bisa memunculkan kontroversi karena dianggap ambigu dan multitafsir. Lalu sebenarnya bagaimana masyarakat bisa bebas untuk berpendapat tanpa takut terkena UU ITE?

            Seperti yang sudah dijelaskan diatas, meskipun kita memiliki kebebasan berpendapat kita harus menghormati orang lain. Hal ini dimaksudkan agar cuitan kita tidak menimbulkan konflik. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat itu harus selalu berdasarkan data yang valid, sehingga tidak menimbulkan konflik, seperti penyebaran informasi sesat, hoax, fitnah, kata-kata permusuhan, kebencian, provokatif, kekerasan, adu domba, pornografi, atau penghinaan.

           Hal ini dikarenakan semakin banyaknya masalah sosial yang muncul akibat penggunaan media sosial yang tidak terkontrol yang akhirnya menjadi isu nasional karena lambatnya solusi untuk meredakan suatu konflik. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang masih kuat akan norma kesopanan, sosial, dan hukumnya seharusnya dalam keadaan ini juga masih berlaku dalam menggunaan media sosial dalam interaksi sosial di masyarakat. Konflik di masyarakat muncul dikarenakan pengguna media sosial yang berasal dari kalangan yang berbeda dan komunikasi yang lebih banyak melaui teks, sehingga perlu penafsiran yang tidak menimbulkan miskomunikasi.

            Oleh karena itu, seharusnya setiap masyarakat harus mempunyai etika bermasyarakat, khusunya dalam etika komunikasi dalam menggunakan media sosial. Sebuah komunitas sosial menjadikan etika sebagai prasyarat wajib dari keberadannya. Tanpa prinsip etika sangat mustahil masyarakat dapat hidup harmonis tanpa merasa ketakutan, kecemasan, kekcewaan ataupun keputusasaaan (Setiawan, dkk, 2022: 38-46). Perlunya komunikasi yang baik menjadi suatu keharusan karena bisa berdampak pada hubungan yang baik antar masyarakat. Penerapan etika dan norma dalam menggunakan media sosial sepertinya dibantu dengan munculnya Undang-Undang Informasi, Teknologi, dan Elektronik.

            Kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan UU tersebut bisa menjadi cara agar masyarakat lebih menerapkan etika komunikasi tanpa mereka sadari karena mereka sendiri yang bisa mengendalikan media sosial mereka dalam menyebarkan segala informasi. Selain itu, dengan adanya UU ITE pemerintah berharap ruang digital bisa menjadi ruang ekspresi masyarakat yang beretika, sehingga tidak melupakan norma yang selama ini diterapkan dalam bermasyarakat dalam melakukan interaksi secara langsung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun