Mohon tunggu...
Azzatunnabila
Azzatunnabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Pendidikan Sosiologi 2019, Universitas Negeri Jakarta

Diri Sendiri yang membuatnya sulit

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bijak Bermedia Sosial atau Pembungkaman Kebebasan Berpendapat

31 Oktober 2022   08:29 Diperbarui: 31 Oktober 2022   08:46 970
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

           Beberapa tahun terakhir ini kebebasan masyarakat dalam berpendapat di Indonesia sedang mengalami ketakutan. Hal ini dikarenakan banyaknya aktivis yang ditangkap setelah menyuarakan kritikan mereka terhadap pemerintahan di negara ini. Kritikan aktivis ini tidak mendapatkan reaksi dari positif secara penuh dari masyarakat karena pasti terdapat orang-orang yang tidak suka dan melaporkan ke Kepolisian dengan pasal UU ITE.

           Lalu sebenarnya, mengapa banyak lagi penangkapan terhadap aktivis yang mengemukakan pendapat mereka di platform pribadi? Seperti pada Jumhur Hidayat, seorang aktivis Kesatuan Aksi Masyarakat Indonesia yang mengunggah cuitannya di twitter terkait kritikannya terhadap pengesahan RUU Cipta Kerja yang dinilai hanya dibentuk untuk para prmitif investor dan pengusaha rakus. Hal ini yang akhirnya mmebuat ia dikenakan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 kemudian Dandhy Dwi Laksono seorang jurnalis Watchdoc yang ditangkap pada September 2019 karena komentarnya terhadap kondisi Wamena dan Jayapura Papua. Beliau ditangkap dengan pasal 28 ayat 2 dan pasal 45 A ayat 2 UU ITE terkait ujaran kebencian.

           Bukankah hal ini menjadi salah satu bentuk aksi demokratis masyarakat terhadap kinerja pemerintahan? Mereka yang menyuarakan pendapat mereka terkait kondisi negeri ini malah terancam penjara. Hal ini yang sebenarnya berakibat pada meningkatnya ketakutan publik untuk lebih berani lagi menyuarakan pendapat mereka mengenai kondisi pemerintahan saat ini. Hal ini dibuktikan dari data Indikator Politik Indonesia yang dilansir dari laman cnnindonesia.com menyebutkan terdapat 62,9% responden yang takut untuk menyampaikan pendapatnya karena pengesahan UU ITE. Masyarakat menilai terbitnya undang-undang tersebut bisa membungkam kebebasan berpendapat dan berkespresi masyarakat. Padahal kebebasan berpendapat sangat penting bagi bangsa Indonesia, selain Indonesia yang dikenal sebagai negara demokrasi, dimana  seharusnya masyarakat bebas untuk menyuarakan pendapatnya.

           Namun, terlepas dari itu, manusia adalah makhluk bebas dalam mengekspresikan dirinya sendiri. Kebebasan tersebut juga penting dan sudah ada sejak bangsa Indonesia masih memperjuangkan kemerdekaan. Hal ini karena kebebasan berekspresi menjadi wadah untuk para pejuang untuk menyamakan pandangan terhadap konsep kemerdekaan. Saat itu, Indonesia menggunakan radio sebagai media komunikasi untuk menyebarkan informasi. Hal ini yang berdampak pada masuknya hak asasi manusia sebagai dasar pembentukan Undang-Undang Dasar Tahun 1945, seperti pada pasal 28 E ayat (3) yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

           Lalu mengapa masih banyak masyarakat yang saling melapor akibat cuitan orang lain? Apakah kebebasan berpendapat perlu diatur juga oleh Undang-Undang meskipun Negara ini termasuk negara demokratis?.

KEBEBASAN BERPENDAPAT

            Indonesia adalah negara demokratis dan menjunjung tinggi nilai hak asasi manusia, salah satunya adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi. Kebebasan adalah nilai penting dalam sistem sosial karena dengan menghormati kebebasan setiap individu bisa membuat derajat manusia lebih beradab dan bermartabat. Selain itu, kebebasan berpendapat juga menjadi salah satu cara masyarakat untuk mengkritik dan memberikan saran kepada pemerintah sebagai bentuk pengawasan terhadap kinerja mereka. Namun, pendapat yang dikeluarkan oleh masyarakat melalui media sosial juga harus membangun bukan berupa nyinyiran yang tidak berdasarkan pada data. Indonesia adalah negara demokratis dan hak berpendapat adalah hak konstituisonal yang wajib diakui.

           Negara demokratis terkenal dengan slogannya, yaitu dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Oleh karena itu, partisipasi aktif dari rakyat seharusnya bisa menjadi cara warga negara berpartisipasi dalam jalannya pemerintahan. Sehingga mereka harus diberikan kesempatan untuk menyampaikan pendapat mengenai pemerintahan yang sedang berjalan, karena jika tidak dan dihalangi sama saja negara demokratis ini berubah menjadi negara otoriter. Namun, di sisi lain Indonesia juga adalah negara hukum, sehingga setiap gerak gerik masyarakat termasuk menyampaikan pendapat mereka baik lisan maupun tulisan di media sosial tidak boleh menyakiti dan merugikan orang lain karena akan langsung berurusan dengan hukum Indonesia.

           Namun, hukum di Indonesia tidak sekejam itu karena sejatinya negara hukum juga harus memberikan perlindungan hukum untuk rakyatnya bukan hanya bertugas untuk memenjarakan orang yang sekiranya bersalah. Karena sejatinya hukum di Indonesia juga berkaitan dengan Pancasila yang mengutamakan hak asasi manusia. Selain itu, pemenuhan hak asasi manusia juga merupakan kewajiban pemerintah, sehingga kebijakan yang ditetapkan untuk bebas berpendapat dan berekspresi tergantung bagaimana kebijakan tersebut diberlakukan yang diharapkan tanpa adanya intervensi dari pihak manapun. 

           Toby Mendel menjelaskan bahwa terdapat beberapa alasan kebebasan berekspresi menjadi hal yang penting: 1) karena ini merupakan dasar demokrasi; 2) kebebasan berekspresi berperan dalam pemberantasan korupsi; 3) kebebasan berekspresi mempromosikan akuntabilitas; 4) kebebasan berekspresi dalam masyarakat dipercaya merupakan cara terbaik menemukan kebenaran (Kritstian, 2020:48). Namun, sebebas-bebasnya masyarakat untuk berpendapat juga memiliki batasan demi keamanan nasional dan keselamatan publik.

           Menurut Sam Issacharoff suatu batasan berpendapat dapat dibenarkan ketika terdapat organisasi yang bertentangan dengan tujuan dasar suatu negara yang bisa menganggu keamanan konstitusional. Hal ini juga bisa menjadi bukti bahwa segala hal dalam sistem sosial tidak bebas secara sepenuhnya karena akan ada konsekuensi dari setiap tindakan tersebut, sehingga masyarakat memiliki tanggung jawab sosial.

 

BIJAK BERMEDIA SOSIAL

           Pada era ini, media digital semakin berkembang, sehingga penyebaran informasi bergerak dengan cepat dan mudah diakses untuk semua kalangan. Media sosial di Indonesia menjadi aspek penting individu dalam berpendapat dan berekspresi. Hal ini sesuai dengan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII)  yang dikutip dari cnbc.com pada Tahun 2022 mencapai kurang lebih 210 juta yang meningkat secara signifikan sejak pandemi menyerang Indonesia sejak Maret 2020. Pandemi yang membuat masyarakat lebih banyak di rumah karena harus membatasi interaksi dengan dunia luar membuat mereka lebih banyak mengetahui keadaan dunia luar melalui internet.

           Penyebaran informasi yang sangat cepat bisa mendatangkan dampak positif dan negatif karena disatu sisi bisa mendatangkan informasi lebih luas dan cepat dan di sisi lain bisa mempercepat penyebaran hoax jika tidak berasal dari kebenaran, sehingga bisa memunculkan konflik di masyarakat. Oleh karena itu, hukum ada untuk mencegah hal tersebut semakin banyak terjadi karena penyebaran informasi adalah tanggung jawab si penyebar, sehingga diperlukan pemeriksaan kembali kebenaran informasi sebelum menyebarkannya.

           John Mill Stuart berpendapat bahwa kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain, sehingga adanya kebebasan bukan berarti semena-mena terhadap orang lain tetapi ada batasan untuk tidak menyebabkan kerugian atau menyakiti orang lain. Konsep tersebut menjelaskan bahwa kebebasan itu tidak bersifat mutlak karena kebebasan kita terdapat kebebasan orang lain. Oleh karena itu, meskipun teknologi semakin maju hak kita untuk mengeluarkan pendapat harus beriringan dengan hak orang lain. Lalu apakah kita akan selalu berpatokan oleh orang lain?

           Sepertinya iya, karena di Indonesia sendiri terdapat UU ITE yang dikeluarkan untuk merespon perkembangan digital di masyarakat. Pada pasal 27 ayat (3) berbunyi bahwa: "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." Namun, sepertinya undang-undang ini masih menjadi kontroversi karena masih banyak pasal yang dinilai bisa membungkam kebebasa berpendapat, dimana terdapat kalimat terakhir mengenai pencemaran nama baik yang masih bias.

           Padahal Indonesia sendiri sudah bebas dari Orde Baru yang selama ini membungkam hak berpendapat masyarakat, sehingga dengan munculnya UU ITE dianggap bisa kembali memunculkan kondisi saat Orde Baru. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah bisa mengkaji ulang setiap pasal yang bisa memunculkan kontroversi karena dianggap ambigu dan multitafsir. Lalu sebenarnya bagaimana masyarakat bisa bebas untuk berpendapat tanpa takut terkena UU ITE?

            Seperti yang sudah dijelaskan diatas, meskipun kita memiliki kebebasan berpendapat kita harus menghormati orang lain. Hal ini dimaksudkan agar cuitan kita tidak menimbulkan konflik. Oleh karena itu, kebebasan berpendapat itu harus selalu berdasarkan data yang valid, sehingga tidak menimbulkan konflik, seperti penyebaran informasi sesat, hoax, fitnah, kata-kata permusuhan, kebencian, provokatif, kekerasan, adu domba, pornografi, atau penghinaan.

           Hal ini dikarenakan semakin banyaknya masalah sosial yang muncul akibat penggunaan media sosial yang tidak terkontrol yang akhirnya menjadi isu nasional karena lambatnya solusi untuk meredakan suatu konflik. Oleh karena itu, Indonesia sebagai negara yang masih kuat akan norma kesopanan, sosial, dan hukumnya seharusnya dalam keadaan ini juga masih berlaku dalam menggunaan media sosial dalam interaksi sosial di masyarakat. Konflik di masyarakat muncul dikarenakan pengguna media sosial yang berasal dari kalangan yang berbeda dan komunikasi yang lebih banyak melaui teks, sehingga perlu penafsiran yang tidak menimbulkan miskomunikasi.

            Oleh karena itu, seharusnya setiap masyarakat harus mempunyai etika bermasyarakat, khusunya dalam etika komunikasi dalam menggunakan media sosial. Sebuah komunitas sosial menjadikan etika sebagai prasyarat wajib dari keberadannya. Tanpa prinsip etika sangat mustahil masyarakat dapat hidup harmonis tanpa merasa ketakutan, kecemasan, kekcewaan ataupun keputusasaaan (Setiawan, dkk, 2022: 38-46). Perlunya komunikasi yang baik menjadi suatu keharusan karena bisa berdampak pada hubungan yang baik antar masyarakat. Penerapan etika dan norma dalam menggunakan media sosial sepertinya dibantu dengan munculnya Undang-Undang Informasi, Teknologi, dan Elektronik.

            Kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan UU tersebut bisa menjadi cara agar masyarakat lebih menerapkan etika komunikasi tanpa mereka sadari karena mereka sendiri yang bisa mengendalikan media sosial mereka dalam menyebarkan segala informasi. Selain itu, dengan adanya UU ITE pemerintah berharap ruang digital bisa menjadi ruang ekspresi masyarakat yang beretika, sehingga tidak melupakan norma yang selama ini diterapkan dalam bermasyarakat dalam melakukan interaksi secara langsung.

            Adanya UU ITE juga menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberikan peringatan terhadap masyarakat bahwa setiap postingan mereka terikat dengan hukum karena terdapat bukti digital yang terus ada, meskipun sudah dihapus dari laman pribadi. Pembahasan UU ITE ini harus diadakan karena bisa menjadi dasar dan payung hukum untuk mengatasi potensi pelanggaran masyarakat dalam bermedia sosial (Rohmy, 2021: 311).

           Namun, sebenarnya UU ITE ini sudah ada sejak tahun 2008 dan sudah mengalami revisi pada tahun 2016, tetapi karena terdapat revisi lagi sehingga pasal yang memunculkan multitafsir yang akhirnya membuat publik merasa bahwa UU ITE ini mengancam kebebasan berekspresi mereka. Padahal UU ITE ini dibuat agar cyber crime tidak semakin meningkat akibat perkembangan internet yang pesat.

           Masyarakat menilai bahwa pada Pasal 27 ayat (3), dimana "Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik" tidak jelas dan tidak tepat karena tidak ada batasan sikap yang bisa  terkena pasal tersebut.

           Selain itu, pada pasal 28 ayat 2 tentang ujaran kebencian juga menjadi rentan polemik karena bisa menjadikan pihak yang ingin mengkritik pemerintah atau pihak terkait menjadi takut. Padahal sebenarnya pasal tersebut tidak bisa seenaknya digunakan oleh pihak kedua karena harus dari pihak terkait yang merasa dirugikan yang berhak melaporkan hal tersebut.

           Kerancuan yang terjadi dalam beberapa Pasal UU ITE karena multitafsir seharusnya bisa menjadi lebih fokus pemerintah untuk menjelaskan kepada publik sampai tidak terjadi salah paham dan multitafsir. Hal ini juga berguna agar masyarakat lebih paham dan beretika dalam berpendapat.

 KESIMPULAN

           Kebebasan berpendapat adalah salah satu hak asasi manusia yang seharusnya bisa menjadi perhatian pemerintah dalam mewujudkan hal tersebut. Namun, beberapa tahun terakhir ini banyak masyarakat yang dilaporkan karena telah mengunggah cuitannya di media sosial yang dinilai bisa menimbulkan konflik. Hal ini yang akhirnya berbuntut pada ketakutan publik untuk berpendapat di ruang publik. Padahal kebebasan ekspresi adalah salah cara bagaimana bangsa Indonesia memperjuangkan kemerdekannya.

           Namun, sejatinya kebebasan berpendapat di ruang publik tidak serta merta membuat kita bebas untuk mengeluarkan pendapat kita secara bebas tanpa adanya aturan. Karena ketika kita mengeluarkan pendapat atau kritikan kepada suatu oknum harus berdasarkan data dan menggunakan kalimat yang beradab. Sehingga pendapat tersebut bisa diterima oleh khalayak ramai dengan baik tanpa menimbulkan konflik ke depannya. Selain itu, UU ITE juga bisa menjadi payung hukum untuk masyarakat untuk tetap memiliki etika komunikasi yang diharapkan bisa menciptakan ruang digital yang aman tanpa melupakan norma yang selama ini diiterapkan di ruang publik secara langsung. UU ITE juga diharapkan bisa membuat batasan yang jelas terhadap pasal yang memiliki multitafsir agar masyarkat tidak seenaknya melaporkan terhadap segala pendapat yang bertentangan dengan pendapat mereka.

REFERENSI

Bengkulu, STIES NU. 2020. Tolak Ukur dalam Pertanggungjawaban Moral. Jurnal Mathiq. Vol. 5.

Nurlatifah, Mufti. 2020. Persimpangan Kebebasan Berekspresi dan Tanggung Jawab Sosial pada Regulasi Jurnalisme Digital di Indonesia. IPTEK-KOM. Vol. 22, No. 1.

Gelgel, N.M.R.A. 2017. Pengenalan Beretika Komunikasi Dalam Sosial Media Di Kalangan Remaja. Buletin Udayana Mengabdi. Vol. 16, No. 3.

Mauludin, Mochamad Ali, dkk. 2017. Cerdas Dan Bijak Dalam Memanfaatkan Media Sosial Di Tengah Era Literasi Dan Informasi (Studi Kasus di Kecamatan Cilaku Kabupaten Cianjur Propinsi Jawa Barat). Dharmakarya: Jurnal Aplikasi Ipteks untuk Masyarakat. Vol. 6, No. 1.

Rohmy, Atikah Mardhiya. 2021. UU ITE dalam Perspektif Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi. Jurnal Dakwah dan Komunikasi Islam. Vol. 7, Nomor 2

Setiawan, Ali Arif dkk. 2022. Moralitas Bermedia Sosial (Distorsi Etika dalam Perspektif Halal Media: Standar Etika Komunikasi Publik). AGUNA: Jurnal Ilmu Komunikasi. Vol. 3, No. 1.

Sistawan, Agung Yundi Bahuda. 2019. Kebebasan Berekspresi Menurut Pasal 27 Ayat (3) Undang-Undang Informasi Dan Transaksi Elektronik. Justitia Jurnal Hukum. Vol. 3, No 1.

Warong, Kristian Megahputra dkk. 2020. Kajian Hukum Hak Asasi Manusia Terhadap Kebebasan Berpendapat Oleh Organisasi Kemasyarakatan Di Media.  Lex Administratum. Vol 7, No. 5.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun