Mohon tunggu...
Muhammad Irfan Ayyubi
Muhammad Irfan Ayyubi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Seorang bapak satu anak. Mahasiswa prodi Sastra Indonesia Universitas Pamulang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Durjana!

2 September 2019   23:19 Diperbarui: 3 September 2019   15:32 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Saya pikir kejadian seperti ini hanya ada di sinetron-sinetron televisi yang memuakkan dan berulang kali garis besar ceritanya sama, hanya saja tokoh dan suasananya yang berbeda. Tapi nyatanya, pagi ini benar-benar terjadi di depan mata saya sendiri. Rasanya seperti sedang menonton sinetron secara langsung saja. Hati saya benar-benar remuk redam. Entah apa yang dipikirkan gadis belia itu. Sungguh tega! Tega pokoknya! Terkutuk! 

...

Pagi ini, terik matahari Jakarta membakar gelora saya. Maka seperti biasa saya berjalan menuju sekolah-sekolah untuk menjemput rejeki hari ini. Apalagi kalau bukan menjajakan cilok yang saya buat dengan tangan sendiri. Padahal senin pagi begini biasanya saya akan sambut dengan penuh semangat empat lima. Suasana hati saya sedang bagus-bagusnya, mungkin juga karena belum lama ditinggal bulan Agustus maka tiba-tiba berlagak nasionalisnya menjadi-jadi. Alangkah indahnya setiap mata memandang anak-anak SMP ramai-ramai bersiap untuk mengikuti upacara bendera setiap Senin pagi. Semangat saya jadi ikut berkobar-kobar, Optimisme pada remaja-remaji penerus bangsa naik beribu kali lipat.

Tapi Senin ini lain cerita. Tiba-tiba bayangan imajiner yang menggelorakan dada itu lenyap tatkala harus melihat peristiwa yang amat menyakitkan batin. Beberapa ratus meter lagi harusnya saya sampai ke depan SMP dan mulai berdagang sambil menikmati bayangan imajiner saya tadi. Namun, di sebuah jalan dekat sekolah itu saya melihat kerumunan orang-orang gaduh. Dan lamat-lamat terdengar makin jelas teriakan-makian seorang gadis belia.

Sepeda motor butut saya rem mendadak, memastikan dengan seksama apa yang sebenarnya terjadi. Kerumunan orang-orang itu sedang menyaksikan pula kejadian yang menyedihkan itu. Saya putuskan untuk memarkir motor di pinggir jalan dan menghampiri.

"Anjing! Lu bisa ganti nggak? Gua gamau tau, lu harus gantiin!" Teriak sang gadis. Sosoknya semakin jelas semakin saya mendekat. Gadis dengan rambut pendek sebahu dengan pakaian seragam SMP nya, sedang berdiri bertolak pinggang dan sedang memaki seorang lelaki yang berusia sekitar lima puluhan yang berjongkok di selokan pinggir jalan itu. Saya perhatikan tangannya mengaduk-aduk dasar selokan,  sedang berusaha mencari sesuatu.

"Neng jangan gitu neng, he!!" beberapa orang meneriaki sang gadis, tapi justru makin kalap. Si gadis menendang sepeda motor di sampingnya yang hampir sama dengan milik motor milik saya itu dengan kakinya. Roboh seketika.

"Bangsat! diem lu pada! Ga usah ikut campur urusan orang!"

Seketika terdengar koor orang-orang menyebut ampun pada Tuhan dari mulutnya, saya pun mengelus dada dengan keheranan, ada apa yang terjadi sebenarnya?

Sang lelaki itu kemudian berhasil mengangkat sebuah benda, dibersihkannya benda itu dengan kemeja bagian atas yang belum basah terkena air hitam selokan itu. Di tangannya terlihat sebuah telepon genggam.

"Nanti bapak servisin ya nak, jangan marah, sabar ya nak.." ucapnya pada sang gadis.

"gak! Bangsat! Jadi orangtua nggak guna banget sih lu! Pokoknya gua mau yang baru!"

Beberapa orang yang terpancing amarah dengan perkataan gadis belia itu ikut memaki-maki sang gadis. Namun sang lelaki tua itu dengan santun menggeleng dan meminta pada kerumunan orang-orang untuk tidak memaki si gadis yang adalah anaknya sendiri. Lelaki tua itu mengusap-usap bahu anaknya yang terus meronta dan bahkan hampir membuat sang ayah hampir terjatuh lagi dalam selokan. Beberapa kali. 

Saya tidak merasa perlu berlama-lama di sana. Perlahan saya menjauh karena benar-benar tidak kuat batin saya merasakan apa yang dirasakan sang ayah. Benar-benar ikut merasa remuk melihat perlakuan gadis belia itu.

Bagaimana tidak remuk. Sampai sekarang saya masih ingat betul kejadian pagi itu dan masih merasakan sesaknya bila jadi sang ayah dimaki-maki di depan kerumunan hanya karena tidak sengaja menjatuhkan telepon genggam sang anak.

Oh gusti! Betapa Durjana!

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun