Bali merupakan sebuah provinsi yang bukan hanya sebuah pulau, melainkan etalase dunia tentang bagaimana pariwisata mampu menghidupi sebuah masyarakat sekaligus rapuh oleh guncangan global. Bali senantiasa menjadi wajah Indonesia di mata dunia, sebuah panggung di mana pariwisata bukan hanya industri, tetapi denyut kehidupan masyarakatnya. Sejak pandemi mengguncang, pulau ini sempat sunyi, kehilangan jutaan langkah wisatawan yang selama puluhan tahun menjadi penopang utama ekonomi daerah.
Namun kini, denyut itu perlahan kembali terdengar. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) Bali menjadi saksi kebangkitan tersebut, kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) mencapai 697.107 orang, naik sekitar 11,42% dibanding Juli 2024 yang sebanyak 625.670 orang.
Wisatawan nusantara (wisnus) pada bulan yang sama mencapai 2,29 juta perjalanan, tumbuh pesat dibanding tahun sebelumnya. Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel berbintang juga naik menjadi 67,75% pada Juli 2025, sementara hotel non-bintang mencapai 49,00%, menunjukkan geliat pemulihan yang lebih merata namun masih ada jurang antara kelas akomodasi. Selain itu, perhitungan kumulatif Januari-Juli 2025 menunjukkan total wisman sekitar 3,98 juta, meningkat 12,46% dibanding periode sama tahun lalu.
Sementara jumlah wisatawan domestik menurut Dinas Pariwisata Bali dari Januari hingga Juli 2025 tercatat sekitar 5,8 juta orang, dibanding 4 juta wisman dalam periode tersebut. Angka-angka ini bukan sekadar statistik, melainkan potret nyata harapan ribuan pekerja hotel, pemandu wisata, pengrajin, hingga pedagang kecil yang menggantungkan hidup dari kedatangan wisatawan.
Fakta bahwa Turis dari Australia menyumbang sekitar 23,10 persen dari kunjungan wisman ke Bali pada Juli 2025 menegaskan dominasi satu pasar dan potensi risiko bila terjadi perubahan geopolitik, pelemahan ekonomi, atau perubahan kebijakan visa di Australia. Di sisi lain, pertumbuhan pengunjung lokal (wisnus) yang tinggi---kurang lebih 31,96 persen dibandingkan Juli tahun lalu---menawarkan harapan bahwa pariwisata domestik dapat menjadi penyangga ketika wisatawan asing terkendala.
Namun tantangan tetap besar: disparitas antara hotel berbintang dan non-bintang dalam hal okupansi, kenyamanan, layanan; serta dampak lingkungan dan sosial akibat overdevelopment dan konversi lahan produktif semakin mendapat sorotan publik.
Laporan dari The Guardian (2025) menyebut bahwa ban atau tindakan pembatasan pembangunan hotel dan restoran atas lahan sawah serta lahan pertanian sedang marak setelah banjir besar, sebagai respons terhadap dampak negatif mass tourism terhadap lingkungan. Hal ini menegaskan bahwa pemerintah daerah mesti memperhatikan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi pariwisata dengan kelestarian alam.
Dari realitas tersebut, lahirlah gagasan inovatif berbasis data yaitu "Smart Tourism Bali", sebuah program yang bertujuan menata ulang wajah pariwisata agar lebih berkelanjutan, inklusif, dan tahan krisis.
Smart Tourism Bali dirancang berdasarkan beberapa komponen spesifik yang muncul dari data terkini: pertama, Platform Pemetaan Destinasi Real-Time, yang memonitor jumlah wisatawan, okupansi kamar, dan daya serap layanan di hotel berbintang maupun non-bintang di tiap kabupaten/kota maupun desa wisata. Hal ini memungkinkan pemerintah dan pelaku usaha membaca area mana yang masih kurang tersentuh, area yang padat, serta mengarahkan promosi atau perbaikan fasilitas secara lebih merata.
Kedua, Sertifikasi Digital Non-Bintang & Homestay, yang berdasarkan temuan bahwa meski okupansi non-bintang meningkat, standar kenyamanan dan layanan belum sebanding dengan harapan wisatawan asing/domestik, sehingga usaha non-bintang perlu didorong supaya naik kelas melalui pelatihan, standar layanan, dan penggunaan platform digital (booking, review, promosi).