Padahal, bisa diibaratkan beliau ini seperti burung kutilang yang  berkicau tanpa jeda, dan tanpa kenal tempat.
Kepergian seorang suami untuk selama-lamanya, pastilah sangat memukul istri dan keluarga yang ditinggalkan. Sampai di sini, kita paham bahwa merasa sedih dan kehilangan adalah hal manusiawi yang pasti dialami setiap diri.
Membangkitkan orang yang terpuruk dalam kesedihan, tentu kita lakukan dengan harapan ia cepat bangkit kembali dan bisa menjalani hidupnya dengan normal seperti sebelumnya.
Sebagai kalimat dukungan, kita justru melarangnya menangis, memintanya tersenyum, bahkan memintanya melupakan penderitaan yang baru saja dialami.
Ohoho, ternyata tindakan ini sama sekali keliru!
Kesedihan adalah penyeimbang kegembiraan
Kehidupan ini sudah dirancang untuk menjadi seimbang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada hujan. Ada tawa, ada tangis.
Kita baru dapat membedakan seperti apa rasanya manis, setelah punya pembanding rasa pahit.Â
Kalau sepanjang hidup, yang dinikmati adalah rasa manis melulu, justru lama-kelamaan ia akan menjadi hambar.
Begitu pula jika bumi ini mengalami siang terus-menerus, apakah yang akan terjadi?
Artinya, kesedihan akan menyeimbangkan kegembiraan. Ia menjadi sangat manusiawi untuk dirasakan. Dan menjadi nonsens untuk dihilangkan, bukan?