Maksud saya, kita tidak bisa mematok kebahagiaan dan kesuksesan akan menimpa kita secara terus-menerus.
Pasti ada giliran dan waktunya, kapan hidup kita akan dibasahi air mata. Atau saat pandemi seperti sekarang, hidup kita mungkin saja dilanda beberapa krisis.
Kita berharap pandemi segera berlalu dan sendi-sendi kehidupan bisa berjalan dengan normal kembali.
Sekali lagi, manusia pasti mempunyai titik tidak nyaman dalam perjalanannya. Kesedihan, kecemasan, kerugian, penderitaan, bahkan saat skripsi yang diajukan lagi dan lagi ditolak dosen pembimbing.
Dunia belum kiamat!
Ketika artikel yang saya tayangkan di Kompasiana tidak mendapat label dari admin, saya pun harus menerimanya sebagai bagian dari sebuah proses.
Bangkit, adalah masalah lain. Tetapi memberi ruang untuk bersedih dan kehilangan dalam kurun yang wajar, justru sangat sehat bagi psikologi dan mental.
Menonton film yang menguras emosi, yang membuat penontonnya berderai-derai, terbahak-bahak, atau bahkan berteriak histeris karena merasakan benar dramatisasi di dalamnya; apa yang akan terjadi jika harus jaim dan sok cool sampai film selesai?
Tentu aktivitas seperti ini tidak akan memberi dampak menghibur atau pun melegakan perasaan.Â
Emosi/perasaan yang ditahan dan tidak dilepaskan, akan mengendap, bertumpuk, dan sewaktu-waktu butuh untuk meledak. Tentu, ini menjafi tidak baik dan tidak sehat, bukan.
Jadi, menangislah bila perlu menangis. Bersedihlah, bila perlu bersedih. Ini sebih sejalan dengan mekanisme tubuh, dimana Allah SWT telah menciptakan air mata serta hormon bahagia. Ini akan lebih manusiawi.
Pada fase selanjutnya, percayalah, seseorang akan lebih mudah bangkit dan merasa lebih kuat dari sebelumnya.
Semoga bermanfaat.