Mohon tunggu...
Ika Ayra
Ika Ayra Mohon Tunggu... Penulis - Penulis cerpen

Antologi cerpen: A Book with Hundred Colors of Story (jilid 1) dan Sewindu dalam Kota Cerita

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Kecil Bernama Ratna

29 Oktober 2020   07:47 Diperbarui: 7 November 2020   05:16 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: cdnO-production-images-kly-akamaized.com

"Anaknya lengket dengan bapaknya....menangis kalau ditinggal kerja..."

Aku tak bergeming. Aku sibuk saja mengawasi dua gadis kecil bermain boneka yang sudah pula rusak. 

Ada perbedaan mencolok di antara keduanya. Tubuh mereka hampir seukuran. Atau dengan kata lain Ratna cukup kurus untuk anak seusianya. Lalu putriku tampak lebih bersih dan terawat. Kukunya putih bersih tak hitam seperti Ratna. Pipinya pun bersih dan wangi. Rambut mereka pun lagi-lagi tampak tak sama. Atau pakaian mereka juga tak sama.

Sebenarnya aku tak ingin terseret dalam lingkaran aneh keluarga mereka.

Tapi beberapa lama ini ramai saja berita-berita miring beredar di gang kecil tempatku tinggal.

Bapak Ratna, ternyata suka minum dan berjudi hampir sepanjang malam. Aku juga tak bisa menampik. Sejujurnya aku pernah melihat botol-botol miras dijadikan pajangan dekat tv flat mereka. Bahkan suamiku mendapati motor bapak Ratna terparkir di tempat termaksud.

Lalu yang lebih parah, sang ibu yang tampak boros dalam urusan dapurnya, ternyata rutin mendapat bantuan dari berbagai pihak.

Menurut cerita tetangga yang lebih dulu mengenal keluarga ini, wartawan pernah datang untuk melakukan wawancara, mengapa gadis kecil seperti Ratna berada dalam gerobak pemulung bapaknya sendiri, bersama sampah kotor barang-barang bekas.

Sekali lagi aku tak paham. Otakku bekerja untuk mencerna cerita aneh ini. Tetapi gagal.

Seorang ibu layaknya mempunyai cata-cita yang hebat untuk anaknya. Seorang ibu akan merasa bahagia kalau putrinya sehat dan terawat. Seorang ibu lebih rela tak memperhatikan kebutuhan kecantikannya, asal anak-anaknya bisa makan dengan kenyang, tanpa harus menjadi umpan agar orang lain merasa iba. 

Hidup ini memang aneh, pikirku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun