"Anaknya lengket dengan bapaknya....menangis kalau ditinggal kerja..."
Aku tak bergeming. Aku sibuk saja mengawasi dua gadis kecil bermain boneka yang sudah pula rusak.Â
Ada perbedaan mencolok di antara keduanya. Tubuh mereka hampir seukuran. Atau dengan kata lain Ratna cukup kurus untuk anak seusianya. Lalu putriku tampak lebih bersih dan terawat. Kukunya putih bersih tak hitam seperti Ratna. Pipinya pun bersih dan wangi. Rambut mereka pun lagi-lagi tampak tak sama. Atau pakaian mereka juga tak sama.
Sebenarnya aku tak ingin terseret dalam lingkaran aneh keluarga mereka.
Tapi beberapa lama ini ramai saja berita-berita miring beredar di gang kecil tempatku tinggal.
Bapak Ratna, ternyata suka minum dan berjudi hampir sepanjang malam. Aku juga tak bisa menampik. Sejujurnya aku pernah melihat botol-botol miras dijadikan pajangan dekat tv flat mereka. Bahkan suamiku mendapati motor bapak Ratna terparkir di tempat termaksud.
Lalu yang lebih parah, sang ibu yang tampak boros dalam urusan dapurnya, ternyata rutin mendapat bantuan dari berbagai pihak.
Menurut cerita tetangga yang lebih dulu mengenal keluarga ini, wartawan pernah datang untuk melakukan wawancara, mengapa gadis kecil seperti Ratna berada dalam gerobak pemulung bapaknya sendiri, bersama sampah kotor barang-barang bekas.
Sekali lagi aku tak paham. Otakku bekerja untuk mencerna cerita aneh ini. Tetapi gagal.
Seorang ibu layaknya mempunyai cata-cita yang hebat untuk anaknya. Seorang ibu akan merasa bahagia kalau putrinya sehat dan terawat. Seorang ibu lebih rela tak memperhatikan kebutuhan kecantikannya, asal anak-anaknya bisa makan dengan kenyang, tanpa harus menjadi umpan agar orang lain merasa iba.Â
Hidup ini memang aneh, pikirku.