Aku seperti mendapati fakta yang luar biasa. Aku merasa tak sanggup membayangkan. Gadis kecil itu baru berumur tiga tahun.
Suatu pagi pukul sepuluh. Kami kedatangan gadis kecil tetangga kami. Tampaknya ia baru saja bangun tidur. Tampaknya Ratna tak sehat hari ini.
Dari balik kaca jendela aku melihat sang model, maksudku ibunya Ratna, turut pula mengawasi putrinya yang sudah duduk di ambang pintu kami. Dia datang untuk bermain bersama putri bungsuku yang belum genap dua tahun. Mereka duduk bersisian sambil saling membagi kue kecil. Saling menyuap dan tertawa-tawa tanpa mengobrol apapun. Maklum keduanya belum lancar berbicara.
Lama kelamaan sang ibu melempar senyum padaku. Aku bisa melihat ia sedang sibuk memotong sayur-sayur. Tak lama kemudian aroma sambal yang sedap dan ikan goreng menyeruak ke hidungku. Selalu seperti itu, karena dapur mereka tepat berhadapan dengan pintu rumah petak/bangsalan kami.
"Badannya panas, semalam mbak..."
"Jadi hari ini Ratna tidak saya izinkan ikut bapaknya kerja..."
Aku menangkap nada riang dalam suaranya yang nyaring.Â
Dia tak salah, bisikku dalam hati. Dia seorang ibu yang tak banyak cerewet sepertiku. Tak suka mengeluh apalagi khawatir saat mendengar anaknya terjatuh.Â
Bahkan caranya menjemur cucian di samping rumah pun, dengan tali yang melur dan cara yang ditumpuk-tumpuk, menunjukkan kalau ia ibu yang tak mudah pusing dengan apapun. Ia cuek, toh nanti juga akan kering, katanya.
"Kasian kalau Ratna berpanas-panas dalam gerobak..." imbuhku masih merasa tak terima.
"Bukan saya yang suruh mbak... Ratna sendiri yang mau..."