O, kata-kata itu pun diasah. Disusunlah huruf-huruf menajam sembilu. Haruskah puisi membuat seseorang luka. Bulan menggantung muram. Sesuara, mungkin semacam gumam atau lengkingan dari dada yang terhimpit. Batuk darah dari lorong-lorong gelap. Orang-orang yang punya ilmu menjual harga dirinya dengan sangat murah. Pernah dengar apa yang dikatakannya? Ada boneka muda menjadi wakil presiden terbaik di dunia. Lalu, orang itu, lidahnya dihargai menjadi komisaris perusahaan. Puisi menangkapnya. Tidak dengan air mata, tapi dengan tertawa sekeras-kerasnya.
Jadi, jangan ajari penyair cara-cara menulis puisi. Penyair adalah makhluk yang mabuk. Meski puisi-puisi yang ia tulis tak terlihat bentuk. Banyak puisi telah memesan batu-batu nisan untuk dirinya. Bendera-bendera kuning di perempatan kalimat.
Puisi apa yang mati hari ini?
Puisi penuh bercak-bercak pada lelaki yang tak ingin kehilangan kamera. Yang selalu akan berkata menuju ke utara, padahal langkahnya menuju selatan. Baginya, iya berarti tidak. Semua dalam genggamannya. Tapi kini ia menjelang lumpuh. Penyangga kursinya banyak yang patah, berbalik arah. Panggung tempat pertunjukannya selama ini masih mengulang-ulang cerita lama, dikemas dengan cara berbeda lewat wajah anaknya. Penonton mulai bosan. Makin muak. Tapi tetap saja ada orang-orang melepaskan kepalanya, membentengi lelaki kamera. Bukan untuk membela, tapi demi untuk kepentingan pribadinya. Dan berita dibawa ombak, sebuah kota makin nyata menjadi sarang hantu. Setiap malam kelap-kelip kupu-kupu beterbangan, katanya. Puisi begitu lelah mencatatnya.
***
BMS, Juli 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI