Ayah yang gagal, lelaki pemimpi, atau sebagai orang yang kau menyesal menjadi anakku.
Aku -- seperti halnya ayah-ayah yang lain -- juga punya harapan.
Bukan meletakkan bulan atau matahari dalam genggaman.
Tapi setidaknya kau bisa berjalan sendiri di bumi tanpa pegangan.
Tapi terkadang mimpi hanya lewat sebatas angan. Mungkin aku yang salah membaca peta arah jalan, atau barangkali tak mengukur dulu ke mana langkah harus diayunkan. Atau hanya sekadar pembelaanku, yang mungkin kau bosan mendengarkan.
Tak apa.
Namun, aku sudah berusaha. Semampu yang bisa kulakukan.
Aku juga bisa merasakan, Â bagaimana dadamu begitu sesak saat-saat menjalani usia sekolahmu. Pembayaran uang sekolahmu yang sering tersendat, atau jalan menuju keinginan-keinginanmu yang acapkali mampat.
Menduduki bangku kuliah yang gagal, dan jalan-jalan yang dilalui sering terhadang dinding yang terjal. Apakah ini termasuk salah satu kegelisahanmu?
Aku ingin kaudapat jauh berjalan, tapi kendaraan tak kunjung  tersediakan. Aku cuma sekadar bisa berpuisi. Tapi puisi saat ini hanya ilusi kalau bisa menjadi tumpuan mimpi.
Kini kau akan belajar menapaki usia dewasa. Apa yang kaulihat pada diriku, anakku?