Mohon tunggu...
Ayah Tuah
Ayah Tuah Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat kata

Nganu. Masih belajar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuyul dan Ranjang Seharga Lima Puluh Juta

15 Oktober 2020   19:36 Diperbarui: 15 Oktober 2020   19:42 763
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. Sumber: klikkaltim.com. 

Panggilannya Mas Slamet. Pekerjaan sebagai penarik becak. Pekerjaannya inilah hari-hari belakangan digarisbawahi para tetangganya. 

Lihat rumahnya. 

Lantai dan dinding sedang dalam pengerjaan untuk diganti dengan keramik, Bu Kokom pertama kali cerita. Sofa, siang tadi baru datang, masih cerita Bu Kokom. Motor baru, tentu. 

Laporan mutakhir Bu Kokom adalah, Mas Slamet membeli ranjang seharga 50 juta. Gila! Tetangga satu RT geger. Tak sebanding dengan rumahnya  yang taksiran harganya paling tinggi seratus jutaan. Orang-orang bertanya-tanya. 

"Ah, saya ingin tahu saja, seperti apa ranjang 50 juta itu," kilah Mas Slamet. 

Dan semua pun ingin tahu. Berebut mereka masuk kamar Mas Slamet, mematut-matut ranjang itu. Ranjang itu memang nampak indah, berukir-ukir. Baru kali ini para tetangganya melihat. 

Tapi kemudian, uangnya?  Dari mana uang didapatkan untuk membeli semua itu? Belum lama ini, memang, Mas Slamet pulang kampung. Orang tua  yang tinggal satu-satunya itu meninggal, katanya. Meninggalkan warisan tanah berhektar-hektar, katanya. Mas Slamet anak tunggal, katanya. Tapi Mas Slamet tetap menarik becak? 

"Saya tak ada bakat berdagang. Sisanya saya tabung di bank," alasan Mas Slamet. 

Oo...? 

Sebagian tetangganya diam, sebagian lagi tak peduli. Ada juga yang mengendapkan sisa tanya, yang lain penasaran. Cerita mengenai Mas Slamet pun semakin liar: Mas Slamet seorang perampok! 

Badannya yang sekecil itu? Banyak yang tak yakin. Dan isu ini -  entah siapa yang memulai  -  membuat tetangganya memperhatikan Mas Slamet: Mas Slamet memelihara tuyul. 

"Iya, barangkali."

"Pantesan uang saya sering hilang."

"Gawat."

Mas Slamet kini menjadi pusat perhatian. Apa yang dilakukan Mas Slamet kini menjadi pembenaran bagi tetangganya, bahwa ia memang punya tuyul. 

Lihat saja cara ia berjalan, lihat saja cara ia berbicara, lihat saja cara ia mengayuh becak. Perhatikan saja saat ia -  nah, ini! -  menggendong anak. Konon, orang yang mempunyai tuyul tangannya sering ke belakang, seperti menggendong anak.

Itu menandakan, masih konon, ia sedang menggendong tuyul. Celakanya Mas Slamet memang sering sore-sore menggendong anaknya di belakang. Di belakang anaknya itu pasti ada tuyulnya, bisik-bisik warga. 

Warga gelisah, tak senang, dan akhirnya berujung dengan kemarahan. Bagi warga tak penting apakah seseorang benar-benar pernah melihat tuyul atau tidak, apakah seseorang pernah kehilangan uang atau tidak. Yang tampak kini adalah, Mas Slamet mendadak kaya dan tak jelas dari mana ia dapatkan uangnya. 

Lagi, mengenai ranjang itu, astaga, mengapa harus seharga 50 juta? Jangan-jangan ranjang itu untuk tidur tuyul itu. Jangan-jangan...? 

"Lapor, Pak RT. Bagaimana tentang warga kita yang satu itu?"

Pak RT pun memanggil Mas Slamet. 

"Begini, Mas Slamet..."

"Alah, Pak RT, percaya saja dengan omongan orang. Ini memang kebiasaan orang kita, suka iri melihat orang lain mempunyai kelebihan sedikit. Dibilang korupsi lah, dibilang miara tuyul lah."

"Bukan begitu, Mas Slamet. Saya takut warga menjadi emosi dan lepas kontrol."

"Enak bener. Uang, uang saya sendiri, orang-orang kok jadi sibuk. Boleh Pak RT cek ke kampung saya. Saya memang betul dapat warisan."

"Saya percaya. Tapi warga mana mau mengerti?"

***

Rasanya warga memang sudah sulit diajak mengerti. Lihat saja malam itu. 

"Bagaimana?" suara yang berat, menahan marah. 

"Tak ada cara lain. Kita usir!"

"Ya, usir!"

"Sekarang?"

"Ya, sekarang."

Kemudian mereka meluruk ke rumah Mas Slamet. Menggedor-gedor, "Buka!" 

"Kalau tidak dibuka, kita bakar saja rumah ini."

"Ya, bakar!"

Gaduh. 

Istri Mas Slamet yang pertama kali bangun. Ia terkejut saat mengintip. Takut. Ia pun mengguncang-guncang tubuh suaminya, tapi Mas Slamet tetap asyik dengan dengkurnya. Suara dengkurnya begitu keras. 

***

Lebakwana, Oktober 2020. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun