Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Best Friend Forever

9 Oktober 2025   08:11 Diperbarui: 9 Oktober 2025   08:11 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Jalanan di luar Kafe Cerita Hari Ini ramai dan berisik. Sebuah tenda merah muda dan kuning berkibar di atas pintu kafe. Di dalam, udara lebih dingin dari biasanya. Kasir mengenakan sweter di balik celemek. Murid SMA berdesakan dalam antrean untuk mendapatkan kopi dan donat berlapis gula merah muda. Bel sekolah akan berbunyi sepuluh menit lagi. Saat bel berbunyi, para siswa akan meninggalkan kafe, menyeberang jalan yang ramai, dan mengikuti pelajaran pertama.

Dua gadis duduk di meja dekat jendela.

"Berapa?" tanya si kribo, dengan malas memutar sedotan di cangkir plastik tinggi berisi es kopi.

"Empat puluh delapan," jawab yang lain. Dia menggulung sehelai rambut tembaga di sekitar jarinya dan menggoreskan tanda 'X' besar pada hari Selasa di buku agenda bersampul spiral di depannya.

"Aku heran kenapa tandanya tidak kembali seperti kopi. Atau seperti ini." Gadis kribo menyelipkan kuku jarinya yang panjang di bawah sudut selebaran merah muda yang ditempel di dinding. Dia mencabik-cabik selebaran itu menjadi beberapa bagian dan melemparkannya ke udara. Konfeti itu beterbangan ke lantai.

Si rambut merah tembaga menatap dinding, tempat selebaran merah muda itu masih tergantung. "Aku akan membawa agenda ini saat kita meninggal. Jadi ini bagian dari diriku, aku bisa mengubahnya."

Si kribo menusukkan sedotan ke dasar cangkir. "Aku bertaruh lima puluh. Paling lama seratus hari. Bagaimana tebakanmu?"

"Ya Tuhan, diamlah," kata si rambut merah. "Jangan menebak lagi. Kamu tidak bisa mengubahnya."

"Kamu kan nggak tahu. Kamu duduk dan pura-pura tahu semuanya, tetapi kamu juga cuma menebak."

Mobil-mobil melaju kencang. Para siswa datang dan pergi dari kafe, membunyikan loncengdi atas pintu.

"Maaf," kata si kribo. "Boleh aku tanya sesuatu?"

"Serius, berhentilah bertanya." Si rambut merah melihat ke luar jendela. "Aku harap ibuku datang ke sini. Tapi dia lebih suka waralaba Amerika di seberang kota."

"Ya, aku tahu. Kamu baru saja bilang itu satu miliar kali."

"Baiklah. Apa pertanyaanmu?"

Si kribo menunggu sebentar. "Kalau ini bukan---apa kau menyebutnya, persinggahan?---kalau ini bukan sekadar persinggahan singkat dalam perjalanan kita ke surga atau neraka atau apa pun yang akan terjadi selanjutnya, apa artinya itu?"

"Apa?" Si rambut merah menggeser kursinya.

"Maksudku, kita sepakat ini hanya sementara, kan? Kalau tidak, di mana semua orang mati lainnya? Di mana nenekku? Di mana ayahmu? Atau... bagaimana kalau mereka semua pergi ke surga dan ini, bumi ini, benar-benar neraka? Bagaimana kalau kita adalah satu-satunya dua orang di dunia yang pernah pergi ke neraka, dan itu adalah Kafe Cerita Hari Ini?"

"Itu bodoh. Bagaimana dengan pembunuh berantai?"

Sekelompok siswa baru berhamburan masuk melalui pintu depan. Si kribo melompat berdiri. "Miko!"

Dia menyentuh wajah bocah laki-laki itu, menyisir rambutnya dengan jari-jarinya. Dia meraih tubuhnya, berpegangan erat pada pinggangnya saat dia berjalan ke meja kasir.

"Kita telat," kata seorang cowok yang berjalan di sebelah Miko.

"Sama seperti biasanya?"

Dia berjalan ke antrean kasir.

"Ya," kata Miko. Dia duduk di meja dan mengeluarkan ponselnya. Si kribo berdiri di dekatnya.

"Apa beritanya?" tanya si rambut merah dari jendela.

"Masih mengecek Instagram. Dia imut saat berkonsentrasi."

"Ceritakan padaku saat dia membaca berita."

Si kribo mengalihkan pandangannya ke layar. "Oh. Dia sudah pulang."

"Siapa?" tanya si rambut merah.

"Vonna. Dia sudah pulang dari rumah sakit." Si kribo membaca dengan suara keras dari layar. "'Orang tua siswa kelas dua, Kesang Parmito dan Ella Sugaga, mengatakan putri mereka diharapkan pulih sepenuhnya dan kembali ke sekolah bulan depan.'"

Suara lonceng bergema di seberang jalan.

Anak laki-laki itu memberikan kopi kepada Miko, dan mereka bergegas keluar dari kafe. Kasir mengepel tumpahan kopi. Dia menggigil dan menarik celemeknya lebih erat.

"Matikan AC-nya, Munah!" teriak kasir ke arah ruang belakang.

Dua gadis duduk di meja dekat jendela.

"Aku senang untuknya?" Si kribo menundukkan dahinya ke meja. "Mengapa aku tidak senang?"

"Aku tidak tahu," kata si rambut merah. "Kalau dia meninggal, dia akan berada di sini bersama kita. Tapi aku senang dia hidup."

Si kribo mendongak. "Aku tidak ingin berada di sini bersama orang lain, kau tahu itu, kan?"

"Iya."

"Bolehkah aku bertanya padamu---"

"Tanya saja."

"Bagaimana kita di sini karena dia hidup? Bagaimana kalau kita semua seharusnya mati bersama, tetapi dia tidak mati, jadi sekarang kita di sini? Bagaimana kalau kita akan di sini sampai Vonna meninggal?"

"Konyol."

"Benarkah?"

"Dia bisa hidup sampai setua wanita itu." Si rambut merah menunjuk ke seorang wanita berambut perak yang sedang menghabiskan secangkir teh.

"Dia bisa hidup sampai 100 tahun."

"Iya."

Si rambut merah membuka agenda. Dia berbicara dengan lembut. "Maksudmu ... kita bisa di sini selama 100 tahun?"

Wanita berambut putih itu berdiri, menjatuhkan cangkir kertas ke tempat sampah, dan berjalan keluar dari pintu depan.

"Tidak," kata si kribo.

Dia melihat pintu tertutup.

"Tidak. Ini hanya transit."

Cikarang, 14 September 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun