Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

5 Detik

19 September 2025   16:16 Diperbarui: 19 September 2025   15:40 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Apa yang bisa kamu lakukan dalam waktu 5 detik?

Satu seribu, dua seribu, tiga seribu, empat seribu, lima seribu.

Realistis saja. Seberapa banyak yang dapat kamu lakukan dalam lima detik? 

Tarik napas dalam-dalam beberapa kali. Berjalanlah sekitar empat meter, kalau kamu seorang pria setinggiku. Gali kenangan dari ingatan yang paling dalam. Temukan minuman kaleng bersoda terakhir di kulkas.

Pagi itu kami bertengkar dan aku tidak mampu meluangkan waktu lima detik untuk mengakui bahwa aku yang salah, meminta maaf, dan mengatakan 'Aku cinta kamu'. Aku berjalan sejauh empat meter melintasi dapur dan keluar dari pintu garasi seolah-olah pekerjaanku di sebuah Lembaga Non Profit, Yayasan Selamatkan Masa Depan, lebih penting.

Selama enam bulan berikutnya, aku berjuang melawan rasa sakit di dada saat wajah Nirmala yang tersenyum muncul di benakku. Aku mencoba lari dari ingatan tersebut, menghapus semuanya dengan makanan sampah dan minuman kaleng atau botol. Minuman dalam cangkir atau gelas. Aku hanya berhasil menambah berat badan sehingga hanya bisa berjalan tiga meter dalam lima detik.

Suatu pagi, otakku yang berkabut berembun menyimpulkan bahwa penambahan berat badan adalah manifestasi fisik dari rasa bersalah orang yang selamat. Seandainya aku berjalan hanya tiga meter pagi itu, setidaknya aku akan mati bersamanya ketika saluran gas kompor bocor dan dapur meledak. Baru pada saat itulah aku menyadari bahwa bukan rasa bersalah orang yang selamat yang membuat aku gemuk. Aku punya simtom yang lebih purba. Orang bodoh yang menyakiti orang yang dicintainya.

Aku mengendarai mobilku dari Jembatan Semanggi. Lima detik menuju posisi terbawah dengan kecepatan yang bisa kudapatkan. Aku cukup mahir dalam matematika, dan aku sudah menghitungnya sambil mengisi tangki bahan bakar.

Lima seribu, enam seribu, tujuh seribu…

***

Aku diculik dari maut dan diberi kesempatan hidup kedua oleh Yayasan Selamatkan Masa Depan. Ternyata mereka sebenarnya adalah lembaga polisi sementara yang jujur. Mereka pasti menyukai pemecahan masalah kreatif saya untuk organisasi nirlaba mereka.

Mereka mempunyai obat-obatan dan psikolog yang bagus yang membantuku melupakan lima detik itu untuk sementara waktu. Aku belajar bagaimana hidup kembali. Aku bahkan berhasil menurunkan berat badan.

Ada masa-masa sulit. Seperti ketika sedang menunggu ekstraksi dari penjara Tangerang saat penjajahan Jepang. Rupa awan mengingatkanku pada Nirmala dan hatiku kembali remuk berkeping-keping. Jeritan pejuang kemerdekaan yang disiksa sebenarnya lebih sering terdengar dibandingkan buku harian dan memoar mana pun yang diterbitkan. Aku hanya melepaskan emosi, yakin dengan pengetahuan bahwa aku tidak menciptakan rekahan waktu.

Aku dengan cepat menjadi salah satu agen top, orang yang “disukai”. Aku telah menyelamatkan linimasa puluhan kali. Setelah para operator mencapai tingkat kesuksesan dan kepercayaan tertentu, Yayasan Selamatkan Masa Depan memungkinkan kami merancang misi penelitian kami sendiri. Operator lapangan dilarang merancang misi untuk keuntungan atau tujuan pribadi, karena di sanalah hal terburuk terjadi. Para operator begitu terjebak pada waktu mereka dan secara tidak sengaja memulai rekahan waktu.

Pekerjaan terbaikku melibatkan perbaikan beberapa di antaranya. Penelitian sejarah yang jelas seperti keberadaan Supersemar yang asli, peristiwa pembunuhan dan makam Michael Rockefeller, dan apa yang terjadi dengan MH370, bukan lagi misteri. Sebagian besar permintaan para agen berasal dari masa lalu untuk penelitian akademis silsilah atau esoteris.

Aku sudah siap dengan permintaanku. Karena aku hanya meminta selama lima detik, mereka tidak banyak bertanya.

Ada seorang pembunuh berantai sdengan modus operandinya  meledakkan orang secara acak hingga berkeping-keping dengan bahan peledak buatan sendiri. Rencana resmi perjalananku adalah untuk memeriksa apakah ledakan di dapurku benar-benar merupakan kecelakaan kebocoran gas, atau apakah ledakan tersebut merupakan akibat bom buatan tangan pembunuh tersebut.

Aku tidak mengira itu perbuatan pembunuh berantai. Aku hanya ingin lima detik itu kembali.

Rencanaku mengharuskan aku untuk merencanakan secara detail tentang bagaimana mengalihkan diriku di masa lalu ke maket panggung suara Selamatkan Masa Depan  di dapur lengkap dengan aktor tokoh hebat dengan wajah holo yang memainkan peran Nirmala.

Aku akan disambungkan ke tempatnya dan menjatuhkan kotak hitam mini di meja di samping kulkas agar dapat terlihat dengan jelas. Aku yang dulu akan dialihkan kembali ke garasi, persis saat aku menutup pintu antara garasi dan dapur dan dialihkan dengan aman ke ruang pembekalan misi.

Aku yang dulu  dan kotak hitam mini akan mengalami ledakan. Aku yang dulu akan terus berpikir bahwa dia baru saja melewati Nirmala dengan kata-kata kebencian yang masih terngiang di antara kami. Kotak itu akan terus merekam video, audio, tekanan atmosfer, inersia, suhu, partikulat udara, dan apa pun yang direkamnya, selama tiga puluh menit kemudian sebelum dialihkan ke pembekalan, tiba pada waktu yang sama denganku. Perjalanan waktu memang menyenangkan. Para pengawas menyebutnya mustahil gagal. Foolproof. Anti bodoh.

Si bodoh yang ini tidak berniat melakukannya sesuai rencana.

Aku dialihkan ke dapur.

"Aku salah."

Kotak hitam mini sebesar telapk tangan itu terjatuh sembarangan di atas meja dapur.

“Aku sangat menyesal.”

Mata kami beradu. Aku diam berdiri.

“Aku mencintaimu, Nirmala.”

Aku memeluknya.

Dia balas memelukku.

Aku berharap mereka membiarkanku mati dan aku tidak peduli. Mereka tidak bisa mengalihkan hanya diriku karena pelukan itu.

Nirmala tersentak, "Jimmy!" ketika kami muncul dalam pembekalan. Kotak hitam mini bergetar sedikit saat diletakkan di atas meja rapat, berselimut jelaga dan mendesis sedikit.

Direktur sedang duduk di kursinya sambil menyeruput es teh.

“Sialan, kau membuat kami takut, Kamandanu! Kau bisa saja sungguh-sungguh tewas.”

Aku memandangnya seakan menantang.

Dia menggelengkan kepalanya, memandangku dengan cemberut.

“Kau tahu, dewan harus menyetujui rekrutmen baru.”

Dia tidak pernah mengerti mengapa aku teerjun dari jembatan.

Aku mendudukkan Nirmala di kursi dan berlutut untuk menatap matanya, menjelaskan apa yang terjadi dan menjawab pertanyaan Nirmala. Direktur meninggalkan ruangan.

Nirmala memelukku. Dan aku balas memeluknya.

Cikarang, 20 Mei 2024

 

 

 

 -sepulang dari sawah, Abah selalu bercerita tentang kehidupan yang penuh dengan aneka macam rasa. Matanya selalu berkaca-kaca, tatkala menghadapi realita di sekitarnya. Abah selalu memperhatikan sekelilingnya, saat berangkat ke sawah, begitupun sepulang dari sana.

Di kala pagi, Abah melihat ke arah kiri jalan, ada kayu yang dibakar untuk sarapan sekeluarga di sebuah rumah reyot. Hampir tak ada harapan di rumah itu. Bisa menyambung hidup hingga esok hari pun sudah lebih dari cukup. Lalu, Abah melihat ke arah kanan jalan, ada yang merapal harapan tatkala para suami hendak menjemput rezeki di wajah-wajah teras rumah mereka “semoga hari ini kita diberi rezeki yang cukup” dengan meremas cemas di balik dedoa mereka. Maklum, karena hari kemarin, dan hari sebelumnya rezeki itu belum terlihat hilalnya.

Lalu Abah berjalan menuju sawah sembari berdzikir.

Manakala sore, Abah melihat sisi kiri jalan - pada rumah yang lain terdengar piring terbang, dan suara gedebuk parabot beradu dengan ocehan amarah saling timpal. Rumah itu begitu gaduh karena kondisi ekonomi yang tak sesuai harapan. Dengan perasaan pecah berkeping-keping, Abah melihat sisi kanan jalan. Terlihat seorang anak pulang ke rumah dengan membawa sekarung rongsok untuk hidup esok hari. Harapan untuk duduk di bangku sekolah begitu tipis, karena terhambat biaya yang berdiri angkuh dihadapannya bagai labirin tebal. Tak terasa, Abah pun meneteskan air mata dengan kepala menunduk - berjalan menuju rumah.

“Tanah ini, tanah subur makmur, katanya. Tapi rakyatnya harus berkelahi dengan keadaan,” kata Abah kepadaku.

“Maklum aja, pejabat negeri ini kan alergi kemajuan dengan mendorong kemunduran setiap harinya.” Emak menimpali dengan bercanda sedikit gemas.

Aku hanya hanya diam tertegun. Memang benar apa yang dikatakan Abah, dan Emak. Kehidupan rakyat seperti dalam lingkaran kerja paksa rodi, dan romusha - bahkan lebih kejam dari itu. Setelahnya, rakyat diperas hasilnya, lalu harus pula menjaga kewarasan dengan susah payah. Sumber daya alam - yang seharusnya untuk kesejahteraan rakyat, justru dikeruk secara bar-bar demi kepentingan mereka pribadi. Sementara rakyat, tidak mendapatkan hasilnya, sekalipun hanya sekadar ampasnya saja.

“Abah memikirkan nasib anak-anak zaman sekarang. Yaitu anak-anak sepertimu, Yazid,” kata Abah meneruskan pembicaraan, sambil meracik linting dengan menaburkan sedikit cengkeh di atas tembakau, lalu melintingnya.

“Meski zaman sekarang adalah zaman kemudahan, namun kalian sebagai anak muda sudah dihantam oleh keadaan berkali-kali,” lanjut Abah sambil mengepul asap linting.

Aku terdiam mematung. Tak ada kata untuk membalas kata-kata dari Abah. Banyak hal yang bertabrakan di dalam pikiranku, satu diantaranya adalah negeri yang kaya, tapi rakyatnya sengsara. Segala kepahitan hidup, rakyat harus menanggung sendiri-sendiri. Keadaan seperti ini melahirkan keegoisan yang memudarkan saling bantu, dan gotong royong. Padahal, tanah surga ini begitu masyhur dengan kata-kata “silih asah, silih asih, silih asuh.” Namun, sepertinya kata-kata itu hanya sebatas kalimat tanpa makna.

“Yazid. Abah tahu ekspresimu. Abah tidak bisa berbuat banyak, hanya pesan dari Abah untukmu, yaitu jika kau punya kekuatan, bersuaralah. Barangkali ada secercah harapan dari suara yang kau bawa itu. Akan tetapi, jika kau tak punya kekuatan, cukup bersabarlah, dan lakukanlah apa yang kau bisa.”

Sambil membuatkan kopi untuk Abah, Emak pun masih ikut terlibat dalam pembicaraan ini, meskipun hanya mendengarkan saja.

“Jika aku diam karena tak mempunyai kekuatan, apakah masih ada orang yang peduli terhadap sesama?” Dari lidah yang kelu, aku bertanya pada Abah.

“Yakinlah, Yazid. Bahwa di dunia ini tidak benar-benar gelap. Meski di tengah gulita yang begitu pekat, cahaya akan selalu ada,” jelas Abah menyemangatiku.

Abah, memiliki segudang pengalaman, begitu pun, Emak. Namun, kondisi Abah dan Emak pun sama - bisa makan hari ini sudah bersyukur, maka Abah hanya bisa melangitkan doa dalam getir untuk orang-orang yang kesulitan agar kehidupannya lebih baik lagi. Emak pun sama, bahkan Emak kerap kali meneteskan air mata bila merasakan kehidupan saat ini.

Dengan segala kepahitan hidup yang tengah dihadapi oleh banyak orang, Abah dan Emak menyimpan harapan besar pada generasi penerus, termasuk aku agar kelak dapat menghapus realita yang mendung ini. Sebab, dibalik awan mendung, ada mentari cerah - yang sinarnya belum sampai menerangi tanah ibu pertiwi ini, dan itu adalah tugas anak bangsa yang masih menjaga kewarasannya.


Tangerang, 19 September 2025

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun