“Yazid. Abah tahu ekspresimu. Abah tidak bisa berbuat banyak, hanya pesan dari Abah untukmu, yaitu jika kau punya kekuatan, bersuaralah. Barangkali ada secercah harapan dari suara yang kau bawa itu. Akan tetapi, jika kau tak punya kekuatan, cukup bersabarlah, dan lakukanlah apa yang kau bisa.”
Sambil membuatkan kopi untuk Abah, Emak pun masih ikut terlibat dalam pembicaraan ini, meskipun hanya mendengarkan saja.
“Jika aku diam karena tak mempunyai kekuatan, apakah masih ada orang yang peduli terhadap sesama?” Dari lidah yang kelu, aku bertanya pada Abah.
“Yakinlah, Yazid. Bahwa di dunia ini tidak benar-benar gelap. Meski di tengah gulita yang begitu pekat, cahaya akan selalu ada,” jelas Abah menyemangatiku.
Abah, memiliki segudang pengalaman, begitu pun, Emak. Namun, kondisi Abah dan Emak pun sama - bisa makan hari ini sudah bersyukur, maka Abah hanya bisa melangitkan doa dalam getir untuk orang-orang yang kesulitan agar kehidupannya lebih baik lagi. Emak pun sama, bahkan Emak kerap kali meneteskan air mata bila merasakan kehidupan saat ini.
Dengan segala kepahitan hidup yang tengah dihadapi oleh banyak orang, Abah dan Emak menyimpan harapan besar pada generasi penerus, termasuk aku agar kelak dapat menghapus realita yang mendung ini. Sebab, dibalik awan mendung, ada mentari cerah - yang sinarnya belum sampai menerangi tanah ibu pertiwi ini, dan itu adalah tugas anak bangsa yang masih menjaga kewarasannya.
Tangerang, 19 September 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI