Aku terlentang di perahu dayung, membaca langit-langit terowongan yang rendah. Peringatan: belum pernah ada yang tenggelam di perairan ini, tetapi banyak yang tengkoraknya retak saat mencoba. Dengan kata lain: Ini bukan sekolah taman kanak-kanak, Nak. Tindakan terbaik: jangan bergerak, dengarkan saja suara gesekan waktu yang berdebum dengan waktu lainnya---sebuah prospek yang menakutkan tetapi tidak sepenuhnya menyedihkan. Maksudku, di kota surat penting, tetapi apa pentingnya kota bagi seorang pria yang bukan di kota? Kalau aku masih di bumi, apakah aku benar-benar akan memenuhi potensiku, menjalankan, katakanlah, bengkel mobil yang, dengan biaya terjangkau, mengubah mobil tua menjadi peralatan makan perak, sendok, garpu, dan pisau berkarat yang dapat menikmati masa lalu makanan - makanan apa pun - steak terenak yang pernah kamu makan, pai terlezat, apem terempuk?
Tidak, tidak, tidak. Kalau aku tidak di sini, aku akan buru-buru ke sini. Siapa yang tidak senang terkekang oleh konsepsi sejarah manusia yang klaustrofobia? Senang terbebas dari semuayang mungkin mereka punya, ke dalam terowongan sempit jati diri? Siapa yang tidak setiap hari berakhir terkapar, kembali ke kontinum seruput menyeruput, terpaku pada satu hal penting yang membosankan? Motivasi, kaset-kasetnya. Filsafat, palu godam. Pensiun, kursi goyang. Endut si Kucing, mangkuk merah. Liem Swei King, raket badminton. Ebiet G. Ade, rumput yang bergoyang. Chairil Anwar, binatang jalang. Ayah, rokok yang menyala. Ibu, dompet yang penuh sesak dengan nota. Dan aku, dayung yang disewa ketika aku tiba di dermaga lebih awal untuk tamasya dan tidak ingin disangka sebagai salah satu anak laki-laki lain yang berkeliaran, mengemis uang receh.
Jawa Barat, 19 September 2025
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI