Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Surat Cinta

18 September 2025   14:14 Diperbarui: 18 September 2025   14:02 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: dok. pri. Ikhwanul Halim

Jari-jari rematik Rey menarik surat rapuh dan menguning itu dari amplopnya yang compang-camping.

Dia tersenyum. Sambil merentangkan kakinya di atas selimut, dia membiarkan jari-jari kakinya menempel di tepi selimut sebelum menguburnya di pasir pagi yang sejuk.

Burung camar berkicau, dan anak-anak bermain air di tengah gelombang ombak meskipun suhu di awal bulan Juli cukup dingin.

Udara asin memenuhi paru-parunya, dan sinar matahari membelai wajahnya yang retaak-retak. Dia menyukai tempat ini. Dia bertemu cinta abadinya di tempat ini.

Pikirannya kembali ke saat pertama kali dia melihat Izzy ketika mereka masih remaja. Saat itu liburan semester kuliah.

Rambut cokelat panjang berkilau Izzy berkibar tertiup angin laut ketika gadis itu menggali pasir di air dangkal.

Rey melenggang seperti zombie mabuk.Kecantikan Izzy yang memikatnya.

"Apa yang kamu lakukan?"

Mata yang sebening telaga biru,  darah campuran, mengintip ke arahnya. "Menggali kerang."

Rey mengarungi air dan berlutut, tidak peduli celana jinsnya basah.

"Perlu bantuan?" Dia mengambil sekop dan bergabung dengannya.

Izzy terkikik. "Rupanya aku tidak punya pilihan."

"Tentu tidak. Aku Reyhan, sebut saja Rey." Dia mengulurkan tangannya.

Izzy menyeka jari-jarinya di celana jean pendek dan menggenggam tangan Rey.

"Isabelle, tapi temanku memanggilku Izzy."

"Izzy, keren. Kamu sering datang ke sini?"

"Liburan pertama kali di sini. Keluargaku menyewa pondok di tepi pantai. Kamu?"

"Orang tuaku punya sebuah pondok di sini." Dia menusukkan sekopnya ke pasir basah. Air memercik ke wajahnya, dan rasa asin membakar bibirnya yang pecah-pecah. "Cuih." Rey menyeka mulutnya dengan lengan baju. "Asin."

"Kamu tidak seharusnya meminum air laut."

Rey menyeringai. "Ah, yang bener?"

Berjam-jam berlalu secepat arus pasang surut. Mereka menaruh ember berisi kerang ke dalam air dan duduk di atas selimut, berbagi cerita dan tertawa bersama.

Rey tersesat di hadapannya.

Saat senja, aroma dan asap kayu yang terbakar memenuhi udara. Rey berdiri dan membersihkan pasir dari celana jinsnya.

"Ayo bawa kerang ke tempatmu lalu pergi ke api unggun." Dia mengulurkan tangannya.

"Aku suka itu." Izzy berdiri dan mengaitkan jari-jarinya dengan jari Rey.

Mereka berjalan menyusuri pantai, membawa ember di tangan, menuju bau asap.

Setelah hari itu mereka tidak dapat dipisahkan. Akhir bulan Agustus telah tiba, dan Rey berdiri di teras depan pondoknya. "Aku benci mengucapkan selamat tinggal."

Air mata tumpah di pipi Izzy. "Aku akan merindukanmu."

Rey menutup jarak di antara mereka dan membelai wajah gadis itu, tatapannya tertuju pada bibirnya.

Seperti apa rasanya? Dia sangat ingin tahu sebelum mereka berpisah. Dia membungkuk.

Matanya melebar. Terdengar desahan kecil.

Rasanya lembut seperti strawberry.

Dia tidak ingin melepaskannya, tetapi tahu dia harus. Dia akan mengingat momen ini sepanjang tahun dengan penuh harap.

Mereka berjanji satu sama lain bahwa mereka akan kembali ke pantai pada musim liburan panjang mendatang.

Rey kembali.

Izzy tidak.

***

Bertahun-tahun kemudian, Rey kembali ke pondok. Dia perlu merestorasi bangunan bobrok itu agar siap dijual. Orang tuanya tidak mampu memenuhi kebutuhannya, dan pekerjaan Rey tidak memberikan waktu tambahan untuk jauh dari kota.

Dia menyisir rambut hitam gelapnya dengan jari-jarinya dan mendorong kakinya menaiki tangga tempat perlindungan masa kanak-kanaknya itu. Bagaimana dia bisa berpisah dengan harta karun sebesar itu?

Sebuah amplop mencuat dari sangkar burung lapuk menarik perhatiannya. Alamat pengirimnya menggugah rasa penasarannya, dan dia membukanya.

Kepada pria remaja yang mencuri hatiku bertahun-tahun yang lalu,

Rey, 

Maafkan aku karena tidak kembali pada musim liburan yang lalu seperti janjiku. Kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan mobil dalam perjalanan pulang, dan aku pindah ke Timur untuk tinggal bersama nenekku. Baru-baru ini karierku membawaku kembali ke sini.

Aku di sini selama bulan Juli. Kalau keluargamu masih memiliki pondok ini, silakan mampir. Aku hanya dua pintu menuju pantai. Aku ingin sekali bertemu denganmu.

Yang merindukanmu,

 Izzy

Tertanggal tahun lalu.

Mungkinkah Izzy ada di sini lagi? 

Tatapannya beralih ke deretan pondok, dan dia melihat sekilas rambut ikal cokelat yang mengintip dari topi jerami saat seorang wanita membungkuk menggali pasir.

Nafasnya tercekat. Mungkinkah itu Izzy-nya? Sebarapa besar kemungkinannya?

Rey berlari menyusuri pantai.

"Izzy?"

Wanita itu berdiri dan berputar, menjatuhkan sekopnya. Dia melindungi matanya dari sinar matahari dan tersentak.

"Rey, Itu kamu?"

Dia mengangguk, kata-katanya tersumbat di balik lidah. Kecantikannya belum memudar setelah dua puluh tahun.

Izzy melangkah mendekat sambil mengamati surat yang masih dipegangnya. "Kamu menemukannya?"

"Ya. Aku turut berduka cita mengenai orang tuamu. Aku tidak tahu."

"Terima kasih. Itu sulit." Dia melepas topinya. "Ceritakan padaku bagaimana kabarmu. Sudah menikah? Anak-anak?"

"Tidak, untuk keduanya."

"Oh. Kupikir pasti banyak perempuan seseorang yang mencuri hatimu."

"Beberapa sudah mencoba, tapi aku tidak pernah menemukan orang yang tepat."

Rey berhenti. "Kamu adalah orang yang sulit untuk dilupakan."

Izzy menendang pasir yang dia gali. "Hampir tidak."

"Kamu punya seseorang yang spesial?"

Izzy menggelengkan kepalanya. "Tidak berhasil. Tapi aku punya anak perempuan. Amanda."

"Aku ingin sekali bertemu dengannya."

Deburan ombak menerpa pantai, iramanya selaras dengan detak jantung Rey yang berdebar kencang.

Dia menarik napas dan meraih tangan Izzy.

Rey tidak akan membiarkan dua puluh tahun berlalu tanpa cinta abadinya.

***

Sekawanan burung camar yang berebut remah-remah makanan yang ditinggalkan membuat Rey kembali ke masa kini.

Dia membuka lipatan surat itu dan membacanya kembali untuk kesekian kalinya. Dia mengusap halaman itu seolah membelai setiap kata-katanya. Kata-kata yang akan dia ucapkan dalam keabadian saat dia bergabung dengannya suatu hari nanti.

Dia mengeluarkan fotonya dari sakunya dan menelusuri wajah cantik mendiang istrinya. Usia telah mengubah rambut cokelat menjadi kelabu, tapi mata seteduh telaga biru masih berbinar.

Seperti samudra.

Cikarang, 2 Juni 2024

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun