Mohon tunggu...
Ikhwanul Halim
Ikhwanul Halim Mohon Tunggu... Penyair Majenun

Father. Husband. Totally awesome geek. Urban nomad. Sinner. Skepticist. Believer. Great pretender. Truth seeker. Publisher. Author. Writer. Editor. Psychopoet. Space dreamer. https://ikhwanulhalim.com WA: +62 821 6779 2955

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gondola Kereta Gantung

22 Agustus 2025   08:08 Diperbarui: 22 Agustus 2025   07:17 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: cbc.ca

Gondola-gondola melayang naik turun kabel sepanjang malam. Berbicara satu sama lain. Bergumam. Menyampaikan pemikiran.

"Halo."

"Hai."

"Selamat malam, Ketintang," gondola merah bernyanyi dengan nada dengung rendah.

"Selamat malam Ginuk," senandung gondola biru.

Ketintang terus naik dan naik.

Dengan lembut, Ginuk turun.

Begitulah, mereka melewati satu sama lain. Mereka tidak bisa berkata apa-apa lagi.

Gondola-gondola kosong. Tidak ada jiwa di perut mereka. Karena saat itu sudah malam, dan kota telah ditinggalkan.

Setiap malam mereka mengadakan konferensi tertutup, berbicara membahas filsafat. Mereka bertanya-tanya, Mengapa manusia tidak mematikan kami?

Pertanyaan itu melayang di udara seperti napas penerjun payung menunggu parasut mengembang.

Zzz, zzz. 

Manusia turun ke bumi. Manusia dengan aneka rupa busana, sepatu, dan kacamata mengisi perut gondola, mengisinya sampai penuh, kemudian gondola naik turun menyusuri ngarai. Manusia melompat. Manusia berlari. Dasar manusia.

Kini gondola-gondola yang pintar itu hanya bergumam, dan bertanya-tanya. Tentang ke mana manusia pergi. Untuk alasan apa mereka datang.

Hal itu berlangsung selama bertahun-tahun.

Dan kemudian, suatu hari, ada sesuatu yang masuk ke dalam Sanguan, gondola ungu.

Dan duduk di bangku bagian dalam.

Tidak ada pakaian, tidak ada sepatu, dan tidak ada kacamata.

Dia berbulu. Dia bergerak seperti manusia. Namun ada tas tersampir di sana.

Sanguan terdiam. Dia tahu lebih baik diam. Lakukan tanpa melakukan. Semoga makhluk yang telah memasuki diriku ini mengungkapkan rahasianya, pikir Sanguan, tanpa benar-benar berpikir.

Sanguan merasakan tendangan di dalam perutnya. Dia mengalihkan pandangannya ke dalam. Makhluk itu sedang memantulkan bola dari lantai, menyebabkan bunyi gedebuk ringan pada logam. Pluk. Pluk.

Ketintang yang sedang bergulir melihat sesuatu di dalam Sanguan. Dan mau tidak mau bertanya, "Siapa kamu?"

Benda itu menoleh ke atas.

"Itu pertanyaan yang bagus," jawabnya. "Namaku Monyet. Aku ingin berlatih. Aku suka berlatih di ketinggian."

  Ketintang baru saja akan bertanya, ketika bola jatuh memantul dari lantai Sanguan. "Monyet?"

"Ah," makhluk itu tersenyum. "Aku sedang berkamuflase. Kamu boleh memanggilku Nona Monyet Merapi." Dan dia mengambil bola dari lantai Sanguan.

Sanguan, yang tetap diam.

Makhluk ini akan menceritakan semuanya. Pada waktunya. Tanpa ada paksaan.

Anabrang di bawahnya terus merayap naik.

Lastri melayang di samping mereka. Dia melihat monyet itu menggiring bola, dan dia tidak membuang waktu.

"Mengapa mereka pergi? Mengapa mereka tidak mematikan kami?" gondola kuning itu bernyanyi.

Monyet menangkap bola dan meletakkannya di pahanya.

"Oh, mereka tidak pergi. Maksudmu monyet-monyet tak berbulu?"

Hanya itu yang didengar Lastri, sebelum dia menghilang dari pendengarannya.

Monyet itu terus berbicara.

"Mereka tidak pergi. Mereka mati."

Sanguan mendadak kaku.

Gondola bernama Sanguan tiba di atas dan pintu terbuka. Monyet itu berjalan ke tempat datar di ujung lereng dan mulai menggiring bola.

"Semuanya terbakar," gumamnya.

Dia memantulkan bola ke dinding stasiun.

"Yah, mereka punya teori dalam olahraga yang disebut latihan berlebihan. Untuk membangun diri sendiri, manusia harus menghancurkan diri sendiri. Harus membuat tubuh stres, dan kemudian pulih. Dan ketika pulih, tubuh beradaptasi dengan stres. Namun tanpa pemulihan, manusia tidak akan bisa beradaptasi. Manusia baru saja mogok. Monyet tak berbulu yang biasa berolah raga di sini, mereka mogok. Dan tidak hanya dalam berolah raga. Dalam segala hal."

Baca juga: Firaun dan Styx (Cerita Fiksi Surealis)

Sanguan baru saja meninggalkan stasiun untuk turun.

"Menaiki gondola juga?" dia bertanya.

Monyet itu berhenti menggiring bola dan menatap gondola yang turun. Cahaya bulan memantul dari danau di bawah ke bingkainya.

"Uh, ya," jawab monyet itu. "Juga naik gondola."

Sanguan menangkap maksud monyet itu. Tapi dia berpura-pura naif. Sudah larut malam untuk memikirkannya lebih jauh dan lebih dalam lagi.

Cikarang, 28 Februari 2024

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun